22 November 2014

PANGGILAN KEBENARAN (1)


Saya sedang berfilsafat. Anda pembaca, ketika membaca terus tulisan saya ini, juga sedang berada di kawasan filsafat. Suatu kawasan yang acapkali jauh dari radar kerumunan kita, tetapi sekaligus sebenarnya, sangat dekat dengan pilihan-pilihan kata kita, pilihan-pilihan diksi kita, pilihan-pilihan sikap kita, pilihan-pilihan "keakuan" kita, bahkan pilihan-pilihan hidup dan mati kita. Di kawasan filsafat ini, saya mengimani, tidak ada satupun rambu-rambu yang secara hakiki ada, kecuali petunjuk arah menuju KEBENARAN. Dan petunjuk itu, masing-masing kita sendiri yang mengadakan dan menegakkannya, entah unik ataupun sama dengan rambu milik orang lain.

Filsafat adalah jalan menuju kebenaran, bukan jalan ("dari") kebenaran. Filsafat bisa saja "berada di atas" kebenaran, bisa juga tidak. Filsafat bisa saja menghasilkan kebenaran, bisa juga tidak. Filsafat bisa berarti membenarkan suatu kebenaran, tetapi lebih sering menyalahkan kebenaran lama. Filsafat saya dan filsafat anda, bisa saja sama-sama benar, bisa saja sama-sama salah, atau bisa saja salah satu di antara kita yang benar. Apapun pendapat anda tentang filsafat, saya taklid kepada Phytagoras, bahwa filsafat selalu mencintai kebenaran, mencintai kebijaksanaan. Dan bukankah panggilan cinta saya terhadap kebenaran sama dengan panggilan cinta anda terhadap kebenaran (meskipun mungkin kadarnya berbeda)? Bukankah pula, sama-sama mencintai kebenaran dari suatu hal, bisa menghasilkan pernyataan kebenaran yang berbeda dari hal itu? Contoh: Orang Amerika, bisa besaksi sejujur-jujurnya (karena cintanya pada kebenaran) bahwa "sekarang tepat tengah hari", berbeda dari kesaksian orang Indonesia yang juga mencintai kebenaran? Sesederhana itu... Kesadaran posisi di belahan bumi yang berbeda, menjadikan mereka maklum bahwa pernyataan yang sama sekali berbeda terhadap hal yang sama, adalah sama-sama benarnya.

Kesadaran tersebut di tataran tertentu, tidaklah sederhana lagi. Ilmu, "Si Malin Kundang Minus Kutukan dari Filsafat", adalah genesis kesadaran itu. Filsafat belajar dari informasi-informasi ilmu, untuk teguh dan tegar mencintai kebenaran, tanpa pernah berikrar memiliki kebenaran itu. Ilmu astronomi atau geografi membantu filsafat untuk menyatukan kebenaran-kebenaran berbeda dari contoh di atas. Tentu saja, ilmu juga mengidap sindrom yang sama dengan filsafat, bahwa kebenaran itu untuk dicintai, bukan dimiliki. Dengan kalimat yang lebih tegas, kebenaran itu relatif. Kerelatifan itu mohon tidak disamakan dengan ketidakpastian begitu saja, sebab muara kebenaran filsafat (maupun ilmu), sebenarnya adalah kebenaran mutlak. Ibarat sungai dari mata air yang berbeda-beda, bertemu di samudra pelumat berbagai air sungai hingga warna, rasa, bau, dan kadar zat-zat air dari berbagai sungai itu, luruh dalam kemanunggalan samudra. Itupun, kita belum memasukkan perbincangan tentang sumbangan air hujan, air limbah, atau air gletser. Kerelatifan kebenaran filsafat (dan ilmu), lebih tepat dimaknai sebagai kecintaan yang tiada ujung, hingga kecintaan itu bermuara di samudra kebenaran. Samudra yang dengannya air di sungai-sungai berhenti di sebut "air sungai"; samudra yang karenanya air menemukan arti hakikinya sebagai air, tanpa kontaminasi warna, rasa, bau, dan zat-zat yang membaur; samudra yang "diandaikan" oleh air-air itu atau "diimani" adanya...

Saya tadi mengatakan "...mencintai kebenaran, tanpa pernah berikrar memiliki kebenaran..". Apa maksudnya? Sesungguhnya, jawaban terhadap hal itu sekaligus juga merupakan penjelasan dari frase judul tulisan ini: "panggilan kebenaran". Mengadopsi "art of loving"-nya Erich Fromm, mencintai tidak sama dengan memiliki, meskipun salah satu pilihan lanjutan dari "mencintai", bisa saja dengan "memiliki". Untuk filsafat (dan ilmu), mencintai berarti menjadi, bukan memiliki (love is being, not having). Karakter manipulatif demi tujuan yang seluhur apapun, selama di luar konteks kebenaran, disingkirkan dari atribusi istilah "menjadi" sebagai definisi mencintai kebenaran ini. Filsafat (dan ilmu) membersihkan diri dari bias-bias kekentalan subjektivitas, meskipun titik keberangkatan dan pengguna akhirnya adalah terdiri dari subjek-subjek juga. Pertanyaannya, bisakah? Sedikit didukung pernyataan Einstein yang membantah komprehensivitas dari objektivitas peneliti Newtonian, saya jawab: tidak bisa, tetapi selalu berupaya seperti itu. Hal ini dengan mudah bisa mengingatkan kita pada pengandaian "mengejar bayangan sendiri". Perbedaannya, filsafat (dan ilmu) "mengimani" bahwa penghindaran dari bias subjektivitas itu harus selalu diandaikan ada, semata-mata untuk memperjuangkan salah satu ciri khas kebenaran yang tidak tunduk pada kepentingan atau perspektif bias dari subjek (filsuf/ilmuwan). Dengan demikian, "panggilan kebenaran" filsafat (dan ilmu) yang direspon positif atas nama cinta ini, sesungguhnya dalam perjalanannya bersifat utopis (dalam arti kebenaran mutlak tidak pernah bisa dicapai), namun memang begitulah hakikat filsafat: mencintai kebenaran yang selamanya tidak pernah dimilikinya. Filsuf adalah lover of wisdom (sebagaimana kata Phytagoras: philosophos), bukan owner of wisdom.