04 November 2016

Mengapa (Mahasiswa) Butuh Filsafat?




Filsafat di kalangan masyarakat luas lebih dicirikan sebagai disiplin ilmu yang pembahasannya cenderung abstrak dan hampir bisa dikatakan tidak ada ruang untuk pemanfaatan secara praktis/langsung kecuali untuk kepentingan analisis dan pengembangan keilmuan di dunia akademis. Louis O. Kattsoff menyebut “ketidakpraktisan” filsafat ini dengan ungkapan “filsafat tidak membuat roti”. Secara positif, dari ungkapan Kattsoff ini dapat diilustrasikan lebih lanjut bahwa “membuat roti” merupakan muara hampir semua disiplin ilmu-ilmu khusus untuk menunjukkan peran praktis ilmu dalam rangka mengoptimalkan kerja otak dengan berorientasi pada kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia dalam menghadapi realitas. Apakah kemudian bisa dikatakan bahwa filsafat tidak memiliki nilai kemanfaatan? Apakah benar sindiran sebagian kalangan yang menyebut filsafat sebagai “kesibukan yang sia-sia”? Atau, dalam koridor agama, filsafat justru menyesatkan spiritualitas-religius manusia?
Filsafat memang tidak membuat roti, tetapi berperan dalam mempersiapkan tungkunya, membersihkan wadah rotinya, apapun yang bisa dikategorikan sebagai “persiapan mendasar” dalam membuat roti. William Durrant, senada dengan Kattsoff, mengilustrasikan filsafat sebagai pasukan marinir yang turun mendahului pasukan infanteri lain (ilmu-ilmu khusus) untuk mengamankan teritori wilayah yang hendak diserbu. Ilustrasi tersebut dapat mengilhami pembaca, bahwa ilmu dalam menciptakan kreasi-kreasi ilmiahnya sebenarnya berawal dan berproses dari kejernihan dasar-dasar filosofis yang melandasinya.
Meskipun demikian sejak akhir abad ke-20 sudah mulai muncul geliat para sarjana dan praktisi filsafat untuk meluruskan dan memberikan tekanan praktis terhadap filsafat. Kemampuan retorika yang merupakan konsekuensi penguasaan substansi dan kejelasan argumentasi, merupakan salah satu aspek praktis filsafat yang sempat menarik perhatian beberapa selebritis. Lou Marinoff adalah contoh salah seorang dari praktisi filsafat ini yang berusaha “membumikan” filsafat (bisa dilihat dalam buku The Consolations of Philosophy dan Plato Not Prozac: Applying Philosophy to Everyday Problems) yang pada intinya memotivasi praktisi filsafat seluruh dunia untuk menerapkan filsafat sebagai terapi (konseling filsafat) untuk menangani problem keseharian.
Pembelajaran filsafat (dengan berbagai tema, misalnya filsafat ilmu, filsafat pendidikan, dan sebagainya) meskipun sudah diampu/dibimbing oleh dosen dengan kompetensi keilmuan filsafat, peluang untuk “membingungkan” cenderung tinggi, khususnya perkuliahan filsafat untuk mahasiswa dengan kompetensi utama kesarjanaannya non-filsafat. Hal ini tidak hanya terkait dengan tingkat pemahaman logika mahasiswa sebagai syarat kognitif utama perkuliahan filsafat, namun salah satunya juga dipengaruhi oleh model penyampaian materi oleh dosen. Selain itu, bahan perkuliahan filsafat (khususnya karya-karya para filsuf) memang bertaburan istilah-istilah yang sering sukar dipahami. Hal ini juga menjadi salah satu alasan, mengapa disiplin filsafat tidak disarankan untuk diberikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah menengah atau dasar (meskipun dimungkinkan dengan berbagai pendekatan yang hati-hati). Keterampilan berlogika dan frekuensi untuk membaca bacaan-bacaan yang mendukung memang sangat disyaratkan agar mempermudah mahasiswa mengikuti perkuliahan filsafat. Buku ini menyumbang upaya pengayaan bacaan filsafat.
Manfaat apa yang bisa dipetik dari belajar filsafat, termasuk untuk mahasiswa yang tidak berada di jurusan/fakultas filsafat? Hasilnya tentu tidak dapat diukur. Seorang dosen bernama N. Ferre yang sudah 30 tahun lebih mengajar filsafat di Amerika Serikat mengatakan: “as a whole those who had studied philosophy in college were better equipped to handle advanced thinking than those who had not”. Studi filsafat dapat mempersiapkan mahasiswa dari kompetensi keilmuan apapun untuk “handle advanced thinking”. Mereka sanggup menempatkan problem-problem yang harus ditangani dalam konteks yang lebih luas dan lebih mendalam. Mereka lebih gampang menangkap inti persoalan dan tahu bagaimana membedakan hal penting dari hal-hal sampingan. Mereka lebih peka terhadap nuansa-nuansa. Mereka lebih sanggup merumuskan permasalahan dengan lebih jelas. Pendek kata, walaupun studi filsafat tentu belum menjamin jawaban yang tepat bagi semua problem yang dihadapi, namun seringkali ia dapat membantu menilai dan mensituasikan problem-problem konkrit dengan lebih tepat dan matang. Kata John Henry Newman, filsafat dapat menghasilkan “education of mind” (Bertens, 2005: 20). Saran Bertens kemudian, dosen pengajar filsafat tidak perlu memaksa mahasiswa segera menangkap relevansi dari pengajaran filsafat.
Terlepas dari pandangan awam tentang filsafat, sebenarnya secara historis filsafat menempati posisi penting bagi kemunculan ilmu-ilmu khusus. Kelahiran filsafat di Miletos, Yunani Kuno di sekitar abad ke-6 SM dicatat sejarah sebagai fajar baru penekanan rasionalitas (dan menggeser tradisi mitos) dalam menjelaskan permasalahan sehari-hari. Ilmu-ilmu lain muncul kemudian sebagai kebutuhan spesifikasi penyelidikan filosofis yang amat beragam. Oleh karena itu, filsafat sering disebut sebagai mother of science (induknya ilmu).  Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
Dalam koridor akademis modern, belajar filsafat bisa dengan tiga kategori:
1.       Belajar filsafat dengan cara historis – berdasar kurun waktu tertentu
2.       Belajar filsafat dengan cara sistematis – spesialisasi cabang-cabang filsafat tertentu
3.       Belajar prinsip-prinsip filsafat – pola yang digunakan.
Belajar filsafat berarti belajar menangkap esensi-esensi dari apapun topik pembicaraannya. Belajar filsafat – meminjam istilah Damardjati Supadjar - merupakan suatu langkah “nawangsari”, menerawang sari/inti/esensi, melaluinya subjek menemukan dirinya bersama-sama dengan dunianya dalam suatu radikalitas pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Penjelasan tentang hal-hal ini bisa didalami di bagian-bagian berikutnya bab ini. 
Istilah Filsafat (Indonesia) bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau bahasa Inggris philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terbentuk dari dua akar kata: philein (mencintai) dan sophos (bijaksana), atau juga philos (teman) dan sophia (kebijaksanaan). Filsafat adalah “love of wisdom”, cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut filsuf (Indonesia), philosopher (Inggris), failasuf (Arab), atau seperti yang disebutkan Pythagoras (572-497 SM) dalam bahasa Yunani Kuno, philosophos (lover of wisdom). Sesuatu ungkapan atau teks yang berbicara dalam konteks filsafat, diistilahkan sebagai “filosofis (philosophical).
Tidak jarang ditemui penggunaan kata “pandangan hidup” (worldview), atau “hikmah” (dalam arti yang sejenis wisdom). Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Filsafat sejati selamanya akan terus mencari kebijaksanaan tanpa kenal lelah. Aktivitas yang khusus bagi filsafat adalah bertanya. Dengan berfilsafat, seseorang tidak memperoleh pengetahuan (erudition) namun hanya memperdalam ketidaktahuan saja. Filsafat, meminjam istilah Nicolaus Cusanus, mengantar kita kepada docta ignorantia (ketidaktahuan yang terpelajar). Contoh historis tentang konsepsi filsafat ini adalah Socrates, bagaimana ia mempraktekkan seni kebidanan (maieutika techne) hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terus menerus. Perlu diakui bahwa dalam sejarah filsafat modern justeru filsuf-filsuf yang membaharui pemikiran filosofis seringkali tidak harus dicari dari kalangan akademis, misalnya dari seorang profesor filsafat. Immanuel Kant yang berstatus profesor filsafatpun, mengembangkan pemikiran barunya yang sangat berpengaruh di luar jalur akademis resmi. Kant berujar "tidak mungkin orang belajar filsafat; orang hanya dapat belajar berfilsafat”. Apabila orang yang ahli filsafat dalam arti menguasai sistem-sistem, konsep-konsep, dan diskusi-diskusi menyangkut filsafat disebut filsuf, lebih tepatnya filsuf akademis, tetapi filsuf akademis atau profesor filsafat belum tentu sama dengan filsuf sejati: “terdapat jauh lebih banyak profesor filsafat daripada filsuf”  (Bertens, 2005: 16-17).
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Dardiri (1986: 10) cenderung membicarakan arti filsafat dari dua segi, segi pengetahuan dan segi aktivitas akal manusia. Dari segi pengetahuan filsafat adalah jenis pengetahuan yang berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi aktivitas akal, filsafat adalah suatu aktivitas akal manusia yang secara radikal hendak mencari keterangan terdalam segala sesuatu yang ada. Menurut hemat penulis, pemahaman di bidang filsafat juga bisa ditengarai dalam tiga hal: filsafat dipahami sebagai metode penalaran, filsafat sebagai pandangan hidup/sikap, dan filsafat sebagai produk atau karya filsuf-filsuf terdahulu (teori atau sistem pemikiran). Sedangkan Harold H. Titus (dalam Dardiri, 1986: 11) mewanti-wanti agar dalam mendefinisikan filsafat perlu dilihat juga filsafat sebagai kumpulan masalah. Artinya, para filsuf sejak dahulu sampai sekarang bergumul dengan persoalan-persoalan seperti kebenaran, keadilan, dan keindahan. Filsafat sebagai kumpulan masalah ini mengafirmasi pendapat Gabriel Marcel bahwa manusia adalah makhluk problematik, makhluk yang senantiasa berhadapan dengan berbagai permasalahan.

Gambar 1.1. The Death of Socrates.

Lukisan terkenal Jacques Louis David yang menlukiskan kisah terkenal filsafat tentang kesetiaan kepada kebenaran sebagaimana dilakukan Socrates.

Justru karena dilatarbelakangi oleh kodrat sebagai makhluk problematik ini, manusia dengan akalnya homo viator, peziarah di muka bumi. Kodrat sebagai pengelana ini pada gilirannya menempatkan pengetahuan sebagai bekal paling penting; inilah manusia sebagai homo sapiens, atau kata Aristoteles, manusia sebagai animal rational, makhluk yang berpikir, makhluk rasional. Kedewasaan seorang manusia, berbanding lurus dengan kemampuannya mengurai dan mengatasi berbagai permasalahan dengan mengedepankan rasio sebagai instrumen analisator utamanya.
Pemahaman kodrat diri ini mengindikasikan pentingnya filsafat sebagai disiplin yang acapkali mempersoalkan hal-hal mandasar seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”, “apakah Tuhan benar-benar ada?”, dan berbagai persoalan eksistensial lain yang selalu relevan dipertanyakan sepanjang peradaban manusia. Filsafat membantu seseorang mengerti tentang diri sendiri dan dunia, karena filsafat mengajarkan bagaimana bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti tersebut di atas.
Pergulatan yang berupa pemikiran/permenungan/refleksi dalam menghadapi realitas yang merupakan medan raksasa permasalahan tersebut, mengarahkan pendefinisian filsafat yang berbeda dari disiplin pengetahuan tentang realitas lainnya (seperti ilmu, agama, atau seni). Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai
kegiatan/hasil pemikiran/permenungan mendalam dan radikal yang menyelidiki sekaligus mendasari segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/teori yang ada untuk disusun dalam sebuah sistem pengetahuan rasional.

Perenungan kefilsafatan merupakan percobaan untuk menyusun sebuah sistem pengetahuan rasional yang memadai untuk memahami dunia maupun diri sendiri. Filsafat adalah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.