Filsafat di
kalangan masyarakat luas lebih dicirikan sebagai disiplin ilmu yang
pembahasannya cenderung abstrak dan hampir bisa dikatakan tidak ada ruang untuk
pemanfaatan secara praktis/langsung kecuali untuk kepentingan analisis dan pengembangan
keilmuan di dunia akademis. Louis O. Kattsoff
menyebut “ketidakpraktisan” filsafat ini dengan ungkapan “filsafat tidak
membuat roti”. Secara positif, dari ungkapan Kattsoff ini dapat diilustrasikan
lebih lanjut bahwa “membuat roti” merupakan muara hampir semua disiplin
ilmu-ilmu khusus untuk menunjukkan peran praktis ilmu dalam rangka
mengoptimalkan kerja otak dengan berorientasi pada kebermanfaatannya bagi
kehidupan manusia dalam menghadapi realitas. Apakah kemudian bisa dikatakan
bahwa filsafat tidak memiliki nilai kemanfaatan? Apakah benar sindiran sebagian
kalangan yang menyebut filsafat sebagai “kesibukan yang sia-sia”? Atau, dalam
koridor agama, filsafat justru menyesatkan spiritualitas-religius manusia?
Filsafat memang
tidak membuat roti, tetapi berperan dalam mempersiapkan tungkunya, membersihkan
wadah rotinya, apapun yang bisa dikategorikan sebagai “persiapan mendasar”
dalam membuat roti. William Durrant, senada
dengan Kattsoff, mengilustrasikan filsafat sebagai pasukan marinir yang turun
mendahului pasukan infanteri lain (ilmu-ilmu khusus) untuk mengamankan teritori
wilayah yang hendak diserbu. Ilustrasi tersebut dapat mengilhami pembaca, bahwa
ilmu dalam menciptakan kreasi-kreasi ilmiahnya sebenarnya berawal dan berproses
dari kejernihan dasar-dasar filosofis yang melandasinya.
Meskipun demikian
sejak akhir abad ke-20 sudah mulai muncul geliat para sarjana dan praktisi
filsafat untuk meluruskan dan memberikan tekanan praktis terhadap filsafat. Kemampuan
retorika yang merupakan konsekuensi penguasaan substansi dan kejelasan
argumentasi, merupakan salah satu aspek praktis filsafat yang sempat menarik
perhatian beberapa selebritis. Lou Marinoff adalah contoh salah seorang dari
praktisi filsafat ini yang berusaha “membumikan” filsafat (bisa dilihat dalam
buku The Consolations of Philosophy dan Plato Not Prozac: Applying Philosophy to Everyday
Problems) yang pada
intinya memotivasi praktisi filsafat seluruh dunia untuk menerapkan filsafat
sebagai terapi (konseling filsafat) untuk menangani problem keseharian.
Pembelajaran
filsafat (dengan berbagai tema, misalnya filsafat ilmu, filsafat pendidikan,
dan sebagainya) meskipun sudah diampu/dibimbing oleh dosen dengan kompetensi
keilmuan filsafat, peluang untuk “membingungkan” cenderung tinggi, khususnya
perkuliahan filsafat untuk mahasiswa dengan kompetensi utama kesarjanaannya
non-filsafat. Hal ini tidak hanya terkait dengan tingkat pemahaman logika
mahasiswa sebagai syarat kognitif utama perkuliahan filsafat, namun salah
satunya juga dipengaruhi oleh model penyampaian materi oleh dosen. Selain itu,
bahan perkuliahan filsafat (khususnya karya-karya para filsuf) memang
bertaburan istilah-istilah yang sering sukar dipahami. Hal ini juga menjadi
salah satu alasan, mengapa disiplin filsafat tidak disarankan untuk diberikan
sebagai bahan pembelajaran di sekolah menengah atau dasar (meskipun
dimungkinkan dengan berbagai pendekatan yang hati-hati). Keterampilan berlogika
dan frekuensi untuk membaca bacaan-bacaan yang mendukung memang sangat
disyaratkan agar mempermudah mahasiswa mengikuti perkuliahan filsafat. Buku ini
menyumbang upaya pengayaan bacaan filsafat.
Manfaat apa yang
bisa dipetik dari belajar filsafat, termasuk untuk mahasiswa yang tidak berada
di jurusan/fakultas filsafat? Hasilnya tentu tidak dapat diukur. Seorang dosen bernama N. Ferre yang sudah 30 tahun lebih
mengajar filsafat di Amerika Serikat mengatakan: “as a whole those who had studied philosophy in college were better
equipped to handle advanced thinking than
those who had not”. Studi filsafat dapat mempersiapkan mahasiswa dari
kompetensi keilmuan apapun untuk “handle
advanced thinking”. Mereka sanggup menempatkan problem-problem yang harus
ditangani dalam konteks yang lebih luas dan lebih mendalam. Mereka lebih
gampang menangkap inti persoalan dan tahu bagaimana membedakan hal penting dari
hal-hal sampingan. Mereka lebih peka terhadap nuansa-nuansa. Mereka lebih
sanggup merumuskan permasalahan dengan lebih jelas. Pendek kata, walaupun studi
filsafat tentu belum menjamin jawaban yang tepat bagi semua problem yang
dihadapi, namun seringkali ia dapat membantu menilai dan mensituasikan problem-problem
konkrit dengan lebih tepat dan matang. Kata John Henry Newman, filsafat dapat
menghasilkan “education of mind” (Bertens,
2005: 20). Saran Bertens kemudian, dosen pengajar filsafat tidak perlu memaksa
mahasiswa segera menangkap relevansi dari pengajaran filsafat.
Terlepas dari
pandangan awam tentang filsafat, sebenarnya secara historis filsafat menempati
posisi penting bagi kemunculan ilmu-ilmu khusus. Kelahiran filsafat di Miletos,
Yunani Kuno di sekitar abad ke-6 SM dicatat sejarah
sebagai fajar baru penekanan rasionalitas (dan menggeser tradisi mitos) dalam
menjelaskan permasalahan sehari-hari. Ilmu-ilmu lain muncul kemudian sebagai
kebutuhan spesifikasi penyelidikan filosofis yang amat beragam. Oleh karena
itu, filsafat sering disebut sebagai mother of science (induknya ilmu). Secara singkat, filsafat mencakup
“segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut
“sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat
dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi
pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
Dalam koridor
akademis modern, belajar filsafat bisa dengan tiga kategori:
1. Belajar
filsafat dengan cara historis – berdasar kurun waktu tertentu
2. Belajar
filsafat dengan cara sistematis – spesialisasi cabang-cabang filsafat tertentu
3. Belajar
prinsip-prinsip filsafat – pola yang digunakan.
Belajar filsafat berarti belajar
menangkap esensi-esensi dari apapun topik pembicaraannya. Belajar filsafat –
meminjam istilah Damardjati Supadjar - merupakan suatu langkah “nawangsari”,
menerawang sari/inti/esensi, melaluinya subjek menemukan dirinya bersama-sama
dengan dunianya dalam suatu radikalitas pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Penjelasan tentang hal-hal ini bisa didalami di bagian-bagian
berikutnya bab ini.
Istilah Filsafat
(Indonesia) bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau
bahasa Inggris philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia
yang terbentuk dari dua akar kata: philein (mencintai) dan sophos
(bijaksana), atau juga philos (teman) dan sophia (kebijaksanaan).
Filsafat adalah “love of wisdom”,
cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan
disebut filsuf (Indonesia), philosopher (Inggris), failasuf (Arab),
atau seperti yang disebutkan Pythagoras (572-497 SM) dalam bahasa Yunani
Kuno, philosophos (lover of
wisdom). Sesuatu ungkapan atau teks yang berbicara dalam konteks filsafat,
diistilahkan sebagai “filosofis (philosophical)”.
Tidak jarang
ditemui penggunaan kata “pandangan hidup” (worldview),
atau “hikmah” (dalam arti yang sejenis wisdom).
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya
adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau
"wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa
Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa
Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya".
Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan.
Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea",
yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf
sepanjang segala abad.
Filsafat sejati
selamanya akan terus mencari kebijaksanaan tanpa kenal lelah. Aktivitas yang
khusus bagi filsafat adalah bertanya. Dengan berfilsafat, seseorang tidak
memperoleh pengetahuan (erudition)
namun hanya memperdalam ketidaktahuan saja. Filsafat, meminjam istilah Nicolaus
Cusanus, mengantar kita kepada docta
ignorantia (ketidaktahuan
yang terpelajar). Contoh historis tentang konsepsi filsafat ini adalah Socrates, bagaimana ia mempraktekkan
seni kebidanan (maieutika techne) hanya dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan terus menerus. Perlu diakui bahwa dalam
sejarah filsafat modern justeru filsuf-filsuf yang membaharui
pemikiran filosofis seringkali tidak harus dicari dari kalangan akademis,
misalnya dari seorang profesor filsafat. Immanuel Kant yang berstatus profesor filsafatpun,
mengembangkan pemikiran barunya yang sangat berpengaruh di luar jalur akademis
resmi. Kant berujar "tidak mungkin orang belajar filsafat; orang hanya
dapat belajar berfilsafat”. Apabila orang yang ahli filsafat dalam arti
menguasai sistem-sistem, konsep-konsep, dan diskusi-diskusi menyangkut filsafat
disebut filsuf, lebih tepatnya filsuf akademis, tetapi filsuf akademis atau
profesor filsafat belum tentu sama dengan filsuf sejati: “terdapat jauh lebih
banyak profesor filsafat daripada filsuf”
(Bertens, 2005: 16-17).
Karl Popper
(1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah
satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu
tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa
argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak
akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir
yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita
untuk menyadari nilai dari hidup".
Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan
"berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken"
(Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir"
sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) =
"danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah
kehidupan yang diberikan kepada kita.
Dardiri (1986:
10) cenderung membicarakan arti filsafat dari dua segi, segi pengetahuan dan
segi aktivitas akal manusia. Dari segi pengetahuan filsafat adalah jenis
pengetahuan yang berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada.
Sedangkan bila dilihat dari segi aktivitas akal, filsafat adalah suatu
aktivitas akal manusia yang secara radikal hendak mencari keterangan terdalam
segala sesuatu yang ada. Menurut hemat penulis, pemahaman di bidang filsafat
juga bisa ditengarai dalam tiga hal: filsafat dipahami sebagai metode
penalaran, filsafat sebagai pandangan hidup/sikap, dan filsafat sebagai produk
atau karya filsuf-filsuf terdahulu (teori atau sistem pemikiran). Sedangkan
Harold H. Titus (dalam Dardiri, 1986: 11) mewanti-wanti agar dalam
mendefinisikan filsafat perlu dilihat juga filsafat sebagai kumpulan masalah.
Artinya, para filsuf sejak dahulu sampai sekarang bergumul dengan
persoalan-persoalan seperti kebenaran, keadilan, dan keindahan. Filsafat
sebagai kumpulan masalah ini mengafirmasi pendapat Gabriel Marcel bahwa manusia adalah makhluk problematik,
makhluk yang senantiasa berhadapan dengan berbagai permasalahan.
Gambar
1.1. The Death of Socrates.
Lukisan terkenal
Jacques Louis David yang menlukiskan kisah terkenal filsafat tentang kesetiaan
kepada kebenaran sebagaimana dilakukan Socrates.
Justru karena
dilatarbelakangi oleh kodrat sebagai makhluk problematik ini, manusia dengan
akalnya homo viator, peziarah di muka
bumi. Kodrat sebagai pengelana ini pada gilirannya menempatkan pengetahuan
sebagai bekal paling penting; inilah manusia sebagai homo sapiens, atau kata Aristoteles, manusia sebagai animal rational, makhluk yang berpikir,
makhluk rasional. Kedewasaan seorang manusia, berbanding lurus dengan
kemampuannya mengurai dan mengatasi berbagai permasalahan dengan mengedepankan
rasio sebagai instrumen analisator utamanya.
Pemahaman kodrat
diri ini mengindikasikan pentingnya filsafat sebagai disiplin yang acapkali
mempersoalkan hal-hal mandasar seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”,
“apakah Tuhan benar-benar ada?”, dan berbagai persoalan eksistensial lain yang
selalu relevan dipertanyakan sepanjang peradaban manusia. Filsafat membantu seseorang mengerti tentang diri sendiri dan dunia, karena
filsafat mengajarkan bagaimana bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar
seperti tersebut di atas.
Pergulatan yang
berupa pemikiran/permenungan/refleksi dalam menghadapi realitas yang merupakan
medan raksasa permasalahan tersebut, mengarahkan pendefinisian filsafat yang berbeda
dari disiplin pengetahuan tentang realitas lainnya (seperti ilmu, agama, atau
seni). Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai
kegiatan/hasil
pemikiran/permenungan mendalam dan radikal yang menyelidiki sekaligus mendasari
segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/teori yang ada untuk
disusun dalam sebuah sistem pengetahuan rasional.
Perenungan
kefilsafatan merupakan percobaan untuk menyusun sebuah sistem pengetahuan
rasional yang memadai untuk memahami dunia maupun diri sendiri. Filsafat adalah
scientia rerum per causas ultimas --
pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.