Tubuh yang Mendidik:
Revolusi Kopernikan Pendidikan Jasmani
Dr. Made Pramono, M.Hum.
FIK Universitas Negeri Surabaya
Abstrak
Tubuh
adalah kondisi yang memungkinkan pengalaman dan pengetahuan, dan bukan hanya
alat atau objek yang terpisah dari diri yang sesungguhnya yang berupa jiwa. Jika
filsafat pendidikan jasmani selama ini hanya menekankan proses “mendidik tubuh”
melalui berbagai wawasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik, maka
reinterpretasi restoratif ontologis dan epistemologis bahwa pendidikan jasmani
itu “mendidik melalui tubuh” perlu di(re)aktualisasikan. Pada tataran
aksiologis, pengejawantahan (re)aktualisasi tersebut bahkan mengarah pada
revolusi pendidikan jasmani yang meneguhkan eksistensi tubuh sebagai subjek
yang mendidik. Kelaziman paradigmatik bahwa “aku adalah jiwaku” sedangkan tubuh
dipersepsi dan diperlakukan sebagai objek, cukup mempersulit pemahaman bahwa
tubuh secara primordial mendidik diri dan orang lain dengan berbagai sensitivitas,
estetik, etik, politis, bahkan spiritual. Dominasi instrumentalisme kebudayaan
kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo
faber, meneguhkan keengganan bagi dunia pendidikan (khususnya pendidikan
tinggi, termasuk di Indonesia) untuk memasukkan pendidikan jasmani sebagai
salah satu komponen inti kurikulum. Hal ini masih ditambah dengan pemahaman
bias bahwa pendidikan jasmani sekedar mengajarkan pengetahuan dan praktek
berolahraga yang tidak menjanjikan “nilai lebih”. Tubuh yang mendidik, merupakan
tawaran revolutif pendidikan jasmani yang mengembalikan hakikat tubuh sebagai
subjek primordial kemanusiaan.
Kata Kunci: Tubuh yang Mendidik, Revolusi
A. Jasmani sebagai Objek, Jasmani sebagai Subjek
Bangsa ini sejak awal
kemerdekaan selalu menyertakan pendidikan jasmani sebagai salah satu pelajaran
wajib di sekolah. Kurikulum tahun 1947, “Rentjana Peladjaran”, dan rentetan
kurikulum berikutnya hingga saat ini (2016), yang selalu disertakan adalah mata
pelajaran pendidikan jasmani (Sukendro, 2012: 7-9). Kesadaran bertubuh secara
mendasar dipikirkan oleh bangsa ini untuk selalu memperoleh porsi penting dalam
proses pendidikan. Jika kemudian saat ini pendidikan jasmani dikesampingkan
sebagai mata pelajaran penting (misalnya dengan tidak diperhitungkan di UN) dan
di dunia perguruan tinggi seolah-olah berbagai kampus mencukupkan “pendidikan
jasmani” ke ranah ekstrakurikuler karena justru dianggap membebani SKS
“penting”, maka hal tersebut bagi penulis merupakan fenomena menarik dan
memerlukan analisis dan riset tersendiri. Dunia pendidikan bagaimanapun tetap
sepakat bahwa apapun keahlian dan aktivitas seseorang, kesehatan dan kebugaran
tubuh merupakan prakondisi yang vital. Tanpa memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan tubuh, apapun kepentingan manusia bisa dipastikan tidak akan
seimbang yang cenderung mengarah pada ketidaktuntasan bahkan penghancuran diri.
Wacana tentang tubuh dalam
ranah ilmu-ilmu sosial mulai
muncul sekitar tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek
sosial dan politis dari feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis
dalam fertilisasi, teknologi realitas virtual, teknologi cyborg di
bidang industri dan kemiliteran, serta estetika tubuh dalam budaya konsumtif
modern. Kemunculan bermacam-macam wacana sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi
teoritis filsafati tertentu, namun demikian karya-karya Michel Foucault bisa
dianggap karya paling signifikan dalam analisis sosial tentang kebertubuhan.
Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang disiplin tubuh bercorak
perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus
dipertimbangkan sebagai satu garis pertumbuhan eksplorasi dan pemahaman
sosiologi-fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme Cartesian menyeruak dan mengambil tempat kemudian ke
dalam orientasi post-strukturalis, dengan menggagas tema-tema tentang emosi,
hasrat dan kasih sayang, diri modern menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan
keintiman kebertubuhan (Pramono, 2014: 89).
Jasmani atau aktivitas
jasmani merupakan objek material dari bidang kajian yang disebut secara luas
sebagai pendidikan jasmani (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani secara umum
bisa diartikan sebagai “pendidikan dari dan melalui aktivitas fisik yang
diterima individu secara formal khususnya dalam konteks institusional” (Newell,
1990: 227). Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah
tubuh, di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu
kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak
sebagai keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki
sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad mengacu
pada sesuatu yang dapat dikontraskan dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah
laku.
Permasalahan filosofis
muncul ketika mengidentifikasi apa objek formal dari pendidikan jasmani ini
yang memperbedakannya dengan bidang-bidang kajian lain yang juga membahas
jasmani seperti biologi, antropologi, filsafat manusia, dan sebagainya.
Pernyataan yang paling mudah dikemukakan secara harfiah untuk menjawab apa
objek formal pendidikan jasmani adalah bahwa pendidikan jasmani mengkaji
jasmani dalam konteks pendidikan. Menurut pendapat ini, bisa disebutkan bahwa
objek material pendidikan jasmani adalah jasmani dilihat dari perspektif
pendidikan terhadapnya. Secara lebih singkat, pendidikan jasmani berarti
mendidik jasmani/tubuh. Hal ini dianut secara luas oleh beberapa ilmuwan,
termasuk dalm tulisan Newell di atas. Frase “...education of and through physical activity...” sebagaimana ditulis
Newell (2012: 227) menegaskan makna relatif antara pendidikan dan aktivitas
fisik yang terhubung kata sambung “dari” (lebih cocok diganti “untuk” dengan
melihat konteks penjelasan Newell lebih lanjut di tulisannya) dan “melalui”.
Objek formal pendidikan
jasmani dengan demikian juga bisa ditegaskan di sini: jasmani yang dilihat
sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan atau menanamkan karakter atau memampukan
kecakapan tertentu. Secara singkat, objek formalnya adalah jasmani sebagai
medium pendidikan. Jika yang pertama berfokus pada jasmani dari perspektif
pendidikan (di mana jasmani sebagai objek yang menjadi tujuan proses
pendidikan), maka yang kedua ini lebih menekankan jasmani sebagai medium proses
pendidikan. Medium untuk mendidik siapa? Tentu kepada “subjek” manusia.
Kedua perspektif di atas
secara gamblang melihat jasmani sebagai objek, meskipun dengan tekanan yang
berbeda. Subjek yang mendidik dan/atau yang dididik adalah diri yang berupa
jiwa. Dualisme Cartesian sangat kental dalam kedua perspektif ini: bahwa manusia
terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua substansi terpisah, di mana yang
disebut “Aku” biasanya selalu merujuk pada jiwa, bukan pada tubuh. Pernyataan Rene Descartes yang terkenal “cogito,
ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini.
Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini
masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu
(termasuk dalam pendidikan jasmani), dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek
kehidupan. Bagi Descartes, tubuh lebih
serupa mesin yang digunakan oleh jiwa (Bertens, 2001: 140; Capra, 1997: 32).
Perspektif lain bisa
diteruskan (bukan hasil negasi) dari pemaknaan “pendidikan dari/untuk tubuh” atau “pendidikan melalui tubuh” ini, yakni tubuh yang mendidik. Tubuh mereferensikan
pengalamannya (pre-reflektif dan reflektif) kepada tubuh lain atau kepada jiwa
(diri atau orang lain). Perspektif ketiga ini berada di antara dualisme menuju
monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak aktualisasinya mewakili monisme murni
yang melihat “Aku” sebagai kesatuan: kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan
tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan substansial antara tubuh dan jiwa sebagai
“Aku”.
Jasmani yang dididik,
jasmani sebagai medium proses mendidik, dan jasmani yang mendidik adalah tiga
perspektif yang bisa diajukan sebagai objek formal pendidikan jasmani. Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua
perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya
ketiga perspektif ini ada dalam praktek “pendidikan jasmani” di Indonesia baik
secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda) maupun
informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi “pendidikan
jasmani informal” ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara). Berikut
diuraikan ketiga perspektif tersebut.
1. Jasmani yang Dididik
Hylomorphisme Aristotelian bisa diajukan sebagai
ilustrasi filosofis paling tepat untuk menggambarkan bagaimana melalui pendidikan
jasmani, tubuh dididik oleh subjek jiwa dengan serangkaian dimensi: fisik,
teknik, strategik, taktik, dan mental. Sebagai wadah (hyle dalam filsafat Aristoteles), tubuh diisi/dididik dengan
dimensi-dimensi di atas beserta berbagai tahapan dan implementasi temuan-temuan
ilmiah tentangnya. Jiwa (morphe dalam
filsafat Aristoteles) mengisi tubuh dengan hal-hal tersebut secara terfokus dan
bertujuan khas. Fokus dan tujuan tersebut bisa berupa kesehatan, kepulihan,
ketangkasan, kelincahan, kecepatan, daya tahan, dan sebagainya. Penekanan utama
dari perspektif ini adalah pada kebutuhan dan kepentingan tubuh sebagai tujuan
terpenting, yang berkonsekuensi pada kebutuhan dan kepentingan jiwa.
Meskipun orientasi pembinaan tertuju
pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang
bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif
sehingga pendidikan jasmani merupakan
intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik,
mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, dalam Pramono, 2014: 230).
Tubuh adalah objek, jiwa adalah subjek. Pandangan
fundamental seperti ini menjadikan tubuh diperlakukan relatif sebagai sesuatu
yang hanya berfungsi reseptif dan pasif. Tetapi sebagai objek yang lekat dengan
multidimensionalitas manusia sebagai pemiliknya, tubuh juga diyakini bisa
berubah seiring perlakuan terhadapnya, baik secara natural maupun artifisial. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari
masyarakat olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta
penerapan skema behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas
untuk hal ini, yang meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih
sering diobjektivikasi dan direduksi sedemikian rupa (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995:
91).
Untuk tujuan kesehatan, tubuh yang bisa melapuk dan
rusak ini dididik untuk memperlama masa optimalnya dalam upaya jiwa agar selama
mungkin hidup dan selama mungkin sehat bugar. Demikian juga halnya dengan
tujuan kepulihan, di mana tubuh dikenakan berbagai perlakuan untuk kembali
kepada masa optimalnya dalam menghadapi kehidupan. Tubuh tidak hanya diupayakan
optimal, tetapi juga maksimal. Atas dasar hasrat naluriah tersebut, tubuh
dikuatkan, dilincahkan, di-daya tahan-kan, dimampukan untuk lebih cepat, tangkas,
kokoh, dan awet bugar. Karakter reseptif dan pasif dari tubuh dengan demikian
dianggap sebagai lokus kepentingan diadakannya pendidikan jasmani, dengannya
tubuh dididik untuk mematuhi kebutuhan-kebutuhan diri di atas: diri yang adalah
berupa “Aku-jiwa”.
2. Jasmani sebagai Medium
Perspektif kedua ini tidak mudah dipisahkan bahkan
diperbedakan dari perspektif pertama. Melanjutkan pandangan yang pertama di
atas, manusia menghendaki sesuatu, yang agar tercapai memerlukan medium berupa
jasmani. Pendisiplinan tubuh agar sesuai dengan standar/ukuran tertentu, adalah
salah satu contohnya. Ketika manusia (lebih spesifik lagi: jiwanya) menghendaki
agar orang-orang lain mengaguminya, maka tubuh dicitrakan sedemikian rupa
sehingga standar-standar citra tubuh ideal diupayakan. Melalui pendidikan
jasmani maupun olahraga, tubuh diperlakukan sedemikian rupa sehingga bisa
diproyeksikan ke orang-orang lain dan dirinya sendiri bahwa “dia” (subjek)
layak untuk dianggap pantas, ideal, seksi, macho, disegani, dan hal-hal lain
sejenisnya.
Berbeda tipis dari perspektif pertama, titik tekan
perspektif tubuh sebagai medium proses pendidikan ini adalah pada tujuan lain
sebagai hasil proses pendidikan jasmani, dan bukan didominasi untuk berhenti
pada kebutuhan dan kepentingan tubuh. Atas dasar itulah, tujuan lain tersebut
berarti bukan bersifat kebertubuhan, atau setidaknya melampaui kebutuhan dan
kepentingan tubuh sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Citra tubuh
ideal, pembentukan karakter, gaya hidup, dan prestasi (terutama di bidang
olahraga) adalah berbagai kerangka tujuan tersebut. Objektivitas tubuh meskipun
tidak setajam perspektif pertama, namun juga ditekankan dengan cara
“mengendarai tubuh” menuju arah tujuan tertentu tersebut.
Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak sekedar
dihayati secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman darinya
persepsi, dunia, dan tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak hanya oleh
pikiranku tetapi juga oleh tubuhku. Sebagai konsekuensi praktisnya, pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan pendidikan melalui pikiran/jiwa. Ini berlangsung
resiprokal. Pendidikan (atau pengetahuan) melalui
pikiran/jiwa, identik – bahkan secara ontologis didahului - dengan pendidikan melalui
tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu diberi catatan bahwa “tugas”
untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah dibedakan secara
anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan disimpan otak) (Pramono,
2014: 231).
3. Jasmani yang Mendidik
Kesadaran primordial atau pra-reflektif merupakan
titik awal sekaligus dasar dari argumen perspektif ketiga ini. Objek-Dunia
menyentuh Aku-Subjek pertama-tama melalui tubuh. Merleau-Ponty menyebut
“ontologi daging” untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan
antara aku dan duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang pertama-tama mengidentifikasi
persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi daging. Hanya saja di tahap primordial
ini daging berikatan atau bersentuhan dengan sesuatu (misalnya hawa udara atau
kulit tangan) tanpa mengobjektivikasikan sesuatu itu. Objektivikasi hanya
terjadi di tahap reflektif, tahap sesudah tubuh memancarkan pengetahuan untuk
ditangkap pikiran. Inilah mengapa paham monisme murni sangat kental di
perspektif ini: “Aku adalah (juga) tubuhku”. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas tunggal yang bukan mental
bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya. Penerimaan informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik,
dikelola oleh aku yang sekaligus jiwa dan tubuh (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995: 91; Pramono, 2014:
232).
Berdasarkan pemahaman primordial tersebut, tubuh –
yang bersama-sama jiwa berada sebagai satu kesatuan tak terpisahkan –
sesungguhnya merupakan lautan pengetahuan maha luas. Hanya sebagian dari
pengetahuan itu yang tersaring sebagai pengetahuan yang disadari, pengetahuan
jiwa. Kondisi primordial ini adalah kondisi sangat azali, sangat alami, yang
belum dikenai standar-standar produk pemikiran apapun. Kepolosan dan
kealamiahan kesadaran tubuh inilah yang bagi penulis dianggap penting untuk
memunculkan istilah “tubuh yang mendidik”, di mana tubuhlah yang menggerakkan
“aku” untuk berkarakter,
berpengetahuan, bersikap, dan bergerak dalam rentang kualitas tertentu.
Pendidikan jasmani menurut perspektif ini berarti
optimalisasi tubuh yang membentuk karakter tertentu, memberi pengetahuan
tertentu, menuntun untuk bersikap tertentu, dan memampukan bergerak sesuai
ukuran tertentu. Tentu saja kerja jiwa seperti pikiran, ingatan, atau kesadaran
tetap penting, namun lebih sebagai pengarah atau penyelaras. Patut ditekankan
lagi, bahwa hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu
substansi dari dua aspek manunggal dari diri manusia.
B. Bidang Studi dan Fokus Aktivitas
Di Indonesia, pendidikan
jasmani dan olahraga merupakan bagian dari olahraga pendidikan, satu di antara
tiga domain ruang lingkup olahraga dalam UU No. 3 SKN (Sistem Keolahragaan
Nasional). Dua domain yang lain adalah
olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai
domain tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak
diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang
segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan,
“Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab”.
Pendidikan jasmani, menurut logika
hukum, berada di wilayah pembidangan pendidikan, yang berarti juga patuh
pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk tujuan lain). Tentu saja ada
rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani, olahraga prestasi mendapatkan
bibit olahragawan sejak usia dini.
Pembentukan habituasi
olahraga seperti suasana menyenangkan dalam beraktivitas, pengajaran
keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai sportivitas, motivasi
berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi pendidikan jasmani terhadap
identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga pendidikan. Tetapi pendidikan
jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk olahragawan prestasi, karena,
sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani. Konsekuensinya,
guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di mata
pelajaran/kuliah pendidikan jasmani, berarti melakukan tindakan menyimpang,
baik secara legal maupun substansial. Prestasi ke-cabor-an (cabang olahraga)
hanya bagian kecil (bukan dominan) dari keseluruhan muara pendidikan jasmani. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 486) mengeksplisitkan hal ini:
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral dari
pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran
jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial,
penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan
pengetahuan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan
yang dirancang secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Pendidikan jasmani
memang berobjek kajian jasmani, tetapi tidak sembarang keberadaan atau
aktivitas jasmani. Pendidikan jasmani lebih mengarusutamakan jasmani dalam
konteks dasar-dasar keterampilan gerak yang benar dalam konteks keolahragaan
atau kesehatan. Itulah sebabnya Ivo Jirasek menggantikan
istilah physical education dengan kinanthropology untuk menekankan pada
fokus aktivitas jasmani yang terarah pada konteks keolahragaan dan kesehatan
(Jirasek, 2003: 109).
Literasi tubuh (physical literracy) dalam
konteks kesehatan atau keolahragaan, bisa menjadi tema utama sekaligus muara
dari pendidikan jasmani. Tubuh tidak hanya didekati dari sudut pandang ilmu
keolahragaan atau pendidikan jasmani, tetapi juga bisa dilihat dari berbagai
bidang kajian lain seperti kesehatan/kedokteran, fisika, biokimia, bahkan
sosiologi atau sejarah. Literasi tubuh dalam konteks pendidikan jasmani oleh
karenanya dibatasi pada penguasaan aspek-aspek mendasar tentang tubuh, entah
fisiognomi dasar, keterampilan gerak dasar, sosioantropologi dasar. Penguasaan
wawasan kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan
siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran
tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum
sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997)
atau Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains
mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan
sebagai cakrawala wawasan kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth.
Tubuh sebagai objek sebagaimana
tergambar di sepanjang sejarah ilmu dan filsafat di berbagai belahan dunia, pada
hakikatnya memposisikan tubuh selalu dalam posisi subordinat jiwa. Pandangan subordinasi tubuh (tubuh sebagai objek) memang
tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan, termasuk dalam proses pendidikan
jasmani, selama tubuh tidak diperlakukan sebagai semata-mata objek pemuas jiwa
yang dipaksa-paksa, dimanipulasi, diracuni, atau bahkan dimutilasi untuk
melayani “kebutuhan” jiwa. Kasus kerja paksa, doping atlit, operasi
penghilangan jari kelingking kaki untuk peraga sepatu, dan sejenisnya adalah
contoh perlakuan tidak pada tempatnya bagi tubuh. Dominasi instrumentalisme kebudayaan kontemporer yang fokus pada
manusia sebagai homo faber
memungkinkan pandangan sesat terhadap relasi tubuh dan jiwa yang bisa saja –
dan sudah – terjadi. Penolakan dan kewaspadaan beberapa pemikir seperti Maine
de Biran, Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Merleau-Ponty, dan Gabriel
Marcell mewakili paham yang mengangkat objektivikasi tubuh ke pemikiran
sebaliknya: subjektivitas tubuh.
C. Revolusi
Kopernikan Tubuh
Tubuh adalah subjek,
atau, Aku adalah tubuhku. Tubuh bukan sejenis alat sebagaimana gunting untuk
memotong kertas, bukan pula wadah tempat jiwa tumbuh berkembang. Tubuh adalah subjek kesatuan manusia dengan dunianya. Subjek tidak bisa
dipisahkan dari tubuh (Merleau-Ponty, 1962: 75). Manusia terhubung dengan
dunia pertama-tama bukan oleh jiwanya, tetapi oleh tubuhnya. Menurut
Merleau-Ponty, seseorang adalah tubuhnya, dan berbeda dengan Descartes,
seseorang tidak terhubung dengan tubuhnya sebagai objek eksternal. Pengetahuan yang terlibatpun
bukanlah pengetahuan reflektif. Inilah apa yang disebut Merleau-Ponty sebagai
“kerajaan pra-objektif” (Syamsuddin, 2014: 64-65).
Persepsi merupakan fenomena
jasmaniah (digunakan dalam arti yang sama oleh penulis dengan istilah
kebertubuhan), bukan peristiwa mental yang terjadi di akhir rantai sebab-akibat
fisis sebagaimana dugaan Descartes. Tubuhlah yang menyadari, bukan
pikiran. Artinya, aku menyadari bukan sebagai subjek berhadap-hadapan dengan
objek, namun sebagai agen-agen jasmaniah
di dalam dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa
yang disebutnya, mengikuti Heidegger, “being in the world” (être au
monde). Misteri persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita
sendiri ‘tertanam” di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri
tidak sepenuhnya kabur dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan tindakan. “Persepsi”,
demikian tulis Carman, “adalah selalu sekaligus pasif dan aktif, situasional
dan praktis, terkondisikan dan bebas” (Carman, 2008: 27 dan 79). Tubuh dan dunia adalah dua entitas yang tak
terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyentuh yang lain. Tubuh
menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi
dengan menyentuh tubuh
(Pramono, 2014: 95).
Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan
kebudayaan yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan
kesadaran, dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan). Merleau-Ponty
menggunakan istilah “habit”
(kebiasaan) sebagai sinonim “skill”,
sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan “pencapaian
kebiasaan” (Merleau-Ponty, 1962: 143). Kemampuan mengalami baginya seolah sama
dengan pencapaian kecakapan menubuh.
The analysis
of motor habit as an extension of existence leads... to an analysis of
perceptual habit as the coming into possession of a world. Conversely, every
perceptual habit is still a motor habit and here equally the process of
grasping a meaning is performed by the body
(Merleau-Ponty, 1962: 153).
Pancaran intensional (intentional arc)
diajukan Dreyfus sebagai cara mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu
cara kecakapan menubuh dalam menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke
seseorang (Dreyfus, 1996: 3). Pancaran intensional ini dianggap sebagai
interkoneksi menubuh dari tindakan dan persepsi kecakapan. Tubuh yang mendidik digambarkan dengan cara
pancaran intensional ini: mengangkat kesatuan perseptual pra-reflektif subjek
didik, dunia, dan kesadaran sebagai awal dari kesadaran reflektif untuk
mengidentifikasi, mengklasifikasi, menstrukturisasi, mensistematisasi, dan
seterusnya, berbagai konsep hasil dari pancaran-pancaran intensional terpilih.
Literasi tubuh mengokohkan
pancaran intensional ini dalam rangka mengkonstruksi berbagai hal, dalam hal
ini me(re)konstruksi pemahaman, sikap, dan arah bagaimana seseorang
(siswa/mahasiswa) memperlakukan tubuhnya dan tubuh yang-lain, menyimpulkan
sesuatu dari kesadaran menubuh tersebut (misalnya pembentukan karakter), serta memproyeksikan
kebertubuhannya dalam konteks kebertubuhan (dan, dengan demikian, kemanusiaan)
universal. Pendidikan jasmani tidak lagi sekedar mengobjektivikasi tubuh,
tetapi justru tubuhlah yang menjadi subjek mendidik darinya berbagai konsep,
teori, atau tindakan mengambil tempat yang semestinya. Komunikasi literasi
tubuh dengan pancaran intensional ini bersifat niscaya dan terus menerus,
sehingga pendidikan jasmani juga sudah semestinya dilihat sebagai proses
pendidikan yang terbuka dan dinamis.
Meskipun pancaran intensional ini
tidak selalu (bahkan jarang) signifikan bagi munculnya revisi literasi tubuh
yang sudah ada, tetapi “tubuh universal” juga tidak selalu sepenuhnya dipatuhi
oleh “tubuh subjektif”. Ini berarti, seorang siswa bisa saja memiliki kekhasan
untuk mampu berenang cepat di lintasan yang ditentukan, misalnya dengan
memejamkan mata di setiap hitungan atau tanda tertentu, di luar apa yang
diinformasikan oleh literasi tubuh yang ada. Pengalaman pada dirinya sendiri
selalu bersifat sangat subjektif dan spontan atau pra-kesadaran sebagai
gambaran dari proyeksi-proyeksi pancaran intensional terus menerus tersebut. Pengalaman
ini untuk menjadi pengetahuan bersama, dikoneksikan dengan berbagai wawasan
yang sudah ada, dalam hal ini literasi tubuh. Pengalaman tubuh, oleh karena
itu, selalu merupakan penjumlahan pancaran intensional tak terbatas sebagai
karakter primordial dari “Aku” (digambarkan secara detail melalui model berikut
ini).
Pengalaman
tubuh
Jumlah
seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh sendiri baik individual maupun
sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar
|
Orientasi
Tubuh
Orientasi
dalam dan pada tubuh sendiri dengan sensibilitas luar dan dalam, khususnya
persepsi kinesthetik
|
Estimasi
Ukuran Tubuh
Estimasi
dimensi ukuran dan ruang tubuh sendiri
|
Pengetahuan
Tubuh
Pengetahuan
faktual bangunan dan fungsi tubuh serta bagian-bagiannya termasuk perbedaan
kanan-kiri
|
Kesadaran
Tubuh
Representasi
psikologis dari tubuh atau bagian tubuh dalam pikiran individual atau
perhatian langsung ke arah tubuh sendiri
|
Batas
Tubuh
Pengalaman
batas-batas tubuh; tubuh dalam perbedaannya dengan lingkungan
|
Sikap-Sikap
Tubuh
Sikap
total ke arah tubuh dan penampakannya, khususnya kepuasan tubuh (atau
ketidakpuasannya)
|
Skema
Tubuh
Aspek
neurofisiologis dari pengalaman tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektif-kognitif
dari individu tentang tubuhnya sendiri
|
Kesan
Tubuh
Aspek
psikologis-fenomenologis dari pengalaman tubuh yang mengisi seluruh
tampilan emosional-afektif individu tentang tubuhnya sendiri
|
Aktivitas jasmani (olahraga maupun
non-olahraga) didominasi pengalaman langsung. Pengalaman langsung tidak
mengenal apapun objek murni, namun selalu berupa subjek yang
mengalami. Subjek yang mengalami dalam persentuhannya dengan dunia ini adalah
subjek alami, subjek yang ada hanya melalui tubuhnya (Syamsuddin, 2014: 65).
Ilustrasi tentang mengendarai mobil yang diketengahkan Merleau-Ponty sebagai corporeal schema, menarik untuk lebih
memahami “pengalaman langsung” tersebut dalam arti praktis. Saat mengendarai
mobil, seseorang tidak berpikir “tentang” mobil, namun berpikir “sebagai”
mobil, “dari sudut pandang mobil”. Konsentrasi di jalan tidak dapat terjadi
jika seseorang masih berpikir tentang mobil. Mobil telah menubuh dalam corporeal schema seseorang itu dan
dengan demikian menjadi perluasan tubuh manusia (Syamsuddin, 2014: 67).
Instruktur/guru/dosen
dalam membelajarkan pendidikan jasmani menurut logika ini tidak mencukupkan
diri dengan menyodorkan diktat/modul/buku sesuai kurikulum untuk dilaksanakan
di kelas secara bersama-sama, namun juga selalu mengkomunikasikan pengalaman
siswa sebagai feed back berharga yang
bisa saja direkonseptualisasikan sebagai modifikasi (penambahan, pengubahan,
pengurangan) dari materi yang sudah ada. “Ayunan” antara tubuh sebagai objek
dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang
“serentak” dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi
menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya
sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari “luar”,
yang “universal”, tetapi juga bisa berasal dari “dalam”, yang “subjektif”;
tidak hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan,
tetapi juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh.
Setidaknya ada
konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap posisi objek dan
subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu
menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya
mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan pengalaman
tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan pembalikan cara
pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi perlakuan atau diisi
pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh adalah subjek yang
mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan jasmani, berarti
senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam kaitannya dengan
berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi hingga psikososial,
dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut hingga ke
urusan spiritual!
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, BSNP.
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Capra,
Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,
alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.
Carman, 2008, Merleau-Ponty, Routledge, Oxon.
Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua,
Pikiran Abadi: Alternatif Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T.
Hermaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Departemen Pendidikan
Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dreyfus, Hubert L., The
Current Relevance of Merleau-Ponty's Phenomenology of Embodiment, dalam The Electronic Journal of Analytic Philosophy, 4 (Spring 1996)
Philosophy Department, Sycamore Hall 026, Indiana University, Bloomington.
Jirásek, I, 2003b, Philosophy of Sport, or Philosophy of Physical Culture? an Experience
from the Czech Republic: Philosophical Kinanthropology, dalam Sport Education and Society, 8(1),
2003b, 105–117.
Meier, K.V., 1995, “Embodiment, Sport and Meaning”,
dalam William J. Morgan dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second
Edition, Human Kinetics, Champaign, USA.
Merleau-Ponty,
M., 1962, The Phenomenology of Perception,
Colin Smith (transl.), Routledge and Kegan Paul, London.
Newell, Karl M., 1990, Physical Education in
Higher Education: Chaos Out of Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012.
Pramono,
Made, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif
Ontologi dan Sumbangannya Bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana
Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan.
Sukendro,
2012, Telaah Kurikulum Pendidikan
Jasmani di Indonesia, Jurnal
Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9.
Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body
Interconnection (A Philosophical Investigation on the Western and Eastern
Approaches to the Human Nature), Kanisius, Yogyakarta.
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan
Nasional.