04 November 2016

Mengapa (Mahasiswa) Butuh Filsafat?




Filsafat di kalangan masyarakat luas lebih dicirikan sebagai disiplin ilmu yang pembahasannya cenderung abstrak dan hampir bisa dikatakan tidak ada ruang untuk pemanfaatan secara praktis/langsung kecuali untuk kepentingan analisis dan pengembangan keilmuan di dunia akademis. Louis O. Kattsoff menyebut “ketidakpraktisan” filsafat ini dengan ungkapan “filsafat tidak membuat roti”. Secara positif, dari ungkapan Kattsoff ini dapat diilustrasikan lebih lanjut bahwa “membuat roti” merupakan muara hampir semua disiplin ilmu-ilmu khusus untuk menunjukkan peran praktis ilmu dalam rangka mengoptimalkan kerja otak dengan berorientasi pada kebermanfaatannya bagi kehidupan manusia dalam menghadapi realitas. Apakah kemudian bisa dikatakan bahwa filsafat tidak memiliki nilai kemanfaatan? Apakah benar sindiran sebagian kalangan yang menyebut filsafat sebagai “kesibukan yang sia-sia”? Atau, dalam koridor agama, filsafat justru menyesatkan spiritualitas-religius manusia?
Filsafat memang tidak membuat roti, tetapi berperan dalam mempersiapkan tungkunya, membersihkan wadah rotinya, apapun yang bisa dikategorikan sebagai “persiapan mendasar” dalam membuat roti. William Durrant, senada dengan Kattsoff, mengilustrasikan filsafat sebagai pasukan marinir yang turun mendahului pasukan infanteri lain (ilmu-ilmu khusus) untuk mengamankan teritori wilayah yang hendak diserbu. Ilustrasi tersebut dapat mengilhami pembaca, bahwa ilmu dalam menciptakan kreasi-kreasi ilmiahnya sebenarnya berawal dan berproses dari kejernihan dasar-dasar filosofis yang melandasinya.
Meskipun demikian sejak akhir abad ke-20 sudah mulai muncul geliat para sarjana dan praktisi filsafat untuk meluruskan dan memberikan tekanan praktis terhadap filsafat. Kemampuan retorika yang merupakan konsekuensi penguasaan substansi dan kejelasan argumentasi, merupakan salah satu aspek praktis filsafat yang sempat menarik perhatian beberapa selebritis. Lou Marinoff adalah contoh salah seorang dari praktisi filsafat ini yang berusaha “membumikan” filsafat (bisa dilihat dalam buku The Consolations of Philosophy dan Plato Not Prozac: Applying Philosophy to Everyday Problems) yang pada intinya memotivasi praktisi filsafat seluruh dunia untuk menerapkan filsafat sebagai terapi (konseling filsafat) untuk menangani problem keseharian.
Pembelajaran filsafat (dengan berbagai tema, misalnya filsafat ilmu, filsafat pendidikan, dan sebagainya) meskipun sudah diampu/dibimbing oleh dosen dengan kompetensi keilmuan filsafat, peluang untuk “membingungkan” cenderung tinggi, khususnya perkuliahan filsafat untuk mahasiswa dengan kompetensi utama kesarjanaannya non-filsafat. Hal ini tidak hanya terkait dengan tingkat pemahaman logika mahasiswa sebagai syarat kognitif utama perkuliahan filsafat, namun salah satunya juga dipengaruhi oleh model penyampaian materi oleh dosen. Selain itu, bahan perkuliahan filsafat (khususnya karya-karya para filsuf) memang bertaburan istilah-istilah yang sering sukar dipahami. Hal ini juga menjadi salah satu alasan, mengapa disiplin filsafat tidak disarankan untuk diberikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah menengah atau dasar (meskipun dimungkinkan dengan berbagai pendekatan yang hati-hati). Keterampilan berlogika dan frekuensi untuk membaca bacaan-bacaan yang mendukung memang sangat disyaratkan agar mempermudah mahasiswa mengikuti perkuliahan filsafat. Buku ini menyumbang upaya pengayaan bacaan filsafat.
Manfaat apa yang bisa dipetik dari belajar filsafat, termasuk untuk mahasiswa yang tidak berada di jurusan/fakultas filsafat? Hasilnya tentu tidak dapat diukur. Seorang dosen bernama N. Ferre yang sudah 30 tahun lebih mengajar filsafat di Amerika Serikat mengatakan: “as a whole those who had studied philosophy in college were better equipped to handle advanced thinking than those who had not”. Studi filsafat dapat mempersiapkan mahasiswa dari kompetensi keilmuan apapun untuk “handle advanced thinking”. Mereka sanggup menempatkan problem-problem yang harus ditangani dalam konteks yang lebih luas dan lebih mendalam. Mereka lebih gampang menangkap inti persoalan dan tahu bagaimana membedakan hal penting dari hal-hal sampingan. Mereka lebih peka terhadap nuansa-nuansa. Mereka lebih sanggup merumuskan permasalahan dengan lebih jelas. Pendek kata, walaupun studi filsafat tentu belum menjamin jawaban yang tepat bagi semua problem yang dihadapi, namun seringkali ia dapat membantu menilai dan mensituasikan problem-problem konkrit dengan lebih tepat dan matang. Kata John Henry Newman, filsafat dapat menghasilkan “education of mind” (Bertens, 2005: 20). Saran Bertens kemudian, dosen pengajar filsafat tidak perlu memaksa mahasiswa segera menangkap relevansi dari pengajaran filsafat.
Terlepas dari pandangan awam tentang filsafat, sebenarnya secara historis filsafat menempati posisi penting bagi kemunculan ilmu-ilmu khusus. Kelahiran filsafat di Miletos, Yunani Kuno di sekitar abad ke-6 SM dicatat sejarah sebagai fajar baru penekanan rasionalitas (dan menggeser tradisi mitos) dalam menjelaskan permasalahan sehari-hari. Ilmu-ilmu lain muncul kemudian sebagai kebutuhan spesifikasi penyelidikan filosofis yang amat beragam. Oleh karena itu, filsafat sering disebut sebagai mother of science (induknya ilmu).  Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
Dalam koridor akademis modern, belajar filsafat bisa dengan tiga kategori:
1.       Belajar filsafat dengan cara historis – berdasar kurun waktu tertentu
2.       Belajar filsafat dengan cara sistematis – spesialisasi cabang-cabang filsafat tertentu
3.       Belajar prinsip-prinsip filsafat – pola yang digunakan.
Belajar filsafat berarti belajar menangkap esensi-esensi dari apapun topik pembicaraannya. Belajar filsafat – meminjam istilah Damardjati Supadjar - merupakan suatu langkah “nawangsari”, menerawang sari/inti/esensi, melaluinya subjek menemukan dirinya bersama-sama dengan dunianya dalam suatu radikalitas pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Penjelasan tentang hal-hal ini bisa didalami di bagian-bagian berikutnya bab ini. 
Istilah Filsafat (Indonesia) bisa dilacak etimologinya dari istilah Arab falsafah, atau bahasa Inggris philosophy yang berasal dari bahasa Yunani, philosophia yang terbentuk dari dua akar kata: philein (mencintai) dan sophos (bijaksana), atau juga philos (teman) dan sophia (kebijaksanaan). Filsafat adalah “love of wisdom”, cinta kebijaksanaan. Orang yang cinta kepada pengetahuan atau kebijaksanaan disebut filsuf (Indonesia), philosopher (Inggris), failasuf (Arab), atau seperti yang disebutkan Pythagoras (572-497 SM) dalam bahasa Yunani Kuno, philosophos (lover of wisdom). Sesuatu ungkapan atau teks yang berbicara dalam konteks filsafat, diistilahkan sebagai “filosofis (philosophical).
Tidak jarang ditemui penggunaan kata “pandangan hidup” (worldview), atau “hikmah” (dalam arti yang sejenis wisdom). Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" =  Tuhan.  Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Filsafat sejati selamanya akan terus mencari kebijaksanaan tanpa kenal lelah. Aktivitas yang khusus bagi filsafat adalah bertanya. Dengan berfilsafat, seseorang tidak memperoleh pengetahuan (erudition) namun hanya memperdalam ketidaktahuan saja. Filsafat, meminjam istilah Nicolaus Cusanus, mengantar kita kepada docta ignorantia (ketidaktahuan yang terpelajar). Contoh historis tentang konsepsi filsafat ini adalah Socrates, bagaimana ia mempraktekkan seni kebidanan (maieutika techne) hanya dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terus menerus. Perlu diakui bahwa dalam sejarah filsafat modern justeru filsuf-filsuf yang membaharui pemikiran filosofis seringkali tidak harus dicari dari kalangan akademis, misalnya dari seorang profesor filsafat. Immanuel Kant yang berstatus profesor filsafatpun, mengembangkan pemikiran barunya yang sangat berpengaruh di luar jalur akademis resmi. Kant berujar "tidak mungkin orang belajar filsafat; orang hanya dapat belajar berfilsafat”. Apabila orang yang ahli filsafat dalam arti menguasai sistem-sistem, konsep-konsep, dan diskusi-diskusi menyangkut filsafat disebut filsuf, lebih tepatnya filsuf akademis, tetapi filsuf akademis atau profesor filsafat belum tentu sama dengan filsuf sejati: “terdapat jauh lebih banyak profesor filsafat daripada filsuf”  (Bertens, 2005: 16-17).
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kurangnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup".  Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Dardiri (1986: 10) cenderung membicarakan arti filsafat dari dua segi, segi pengetahuan dan segi aktivitas akal manusia. Dari segi pengetahuan filsafat adalah jenis pengetahuan yang berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu yang ada. Sedangkan bila dilihat dari segi aktivitas akal, filsafat adalah suatu aktivitas akal manusia yang secara radikal hendak mencari keterangan terdalam segala sesuatu yang ada. Menurut hemat penulis, pemahaman di bidang filsafat juga bisa ditengarai dalam tiga hal: filsafat dipahami sebagai metode penalaran, filsafat sebagai pandangan hidup/sikap, dan filsafat sebagai produk atau karya filsuf-filsuf terdahulu (teori atau sistem pemikiran). Sedangkan Harold H. Titus (dalam Dardiri, 1986: 11) mewanti-wanti agar dalam mendefinisikan filsafat perlu dilihat juga filsafat sebagai kumpulan masalah. Artinya, para filsuf sejak dahulu sampai sekarang bergumul dengan persoalan-persoalan seperti kebenaran, keadilan, dan keindahan. Filsafat sebagai kumpulan masalah ini mengafirmasi pendapat Gabriel Marcel bahwa manusia adalah makhluk problematik, makhluk yang senantiasa berhadapan dengan berbagai permasalahan.

Gambar 1.1. The Death of Socrates.

Lukisan terkenal Jacques Louis David yang menlukiskan kisah terkenal filsafat tentang kesetiaan kepada kebenaran sebagaimana dilakukan Socrates.

Justru karena dilatarbelakangi oleh kodrat sebagai makhluk problematik ini, manusia dengan akalnya homo viator, peziarah di muka bumi. Kodrat sebagai pengelana ini pada gilirannya menempatkan pengetahuan sebagai bekal paling penting; inilah manusia sebagai homo sapiens, atau kata Aristoteles, manusia sebagai animal rational, makhluk yang berpikir, makhluk rasional. Kedewasaan seorang manusia, berbanding lurus dengan kemampuannya mengurai dan mengatasi berbagai permasalahan dengan mengedepankan rasio sebagai instrumen analisator utamanya.
Pemahaman kodrat diri ini mengindikasikan pentingnya filsafat sebagai disiplin yang acapkali mempersoalkan hal-hal mandasar seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”, “apakah Tuhan benar-benar ada?”, dan berbagai persoalan eksistensial lain yang selalu relevan dipertanyakan sepanjang peradaban manusia. Filsafat membantu seseorang mengerti tentang diri sendiri dan dunia, karena filsafat mengajarkan bagaimana bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti tersebut di atas.
Pergulatan yang berupa pemikiran/permenungan/refleksi dalam menghadapi realitas yang merupakan medan raksasa permasalahan tersebut, mengarahkan pendefinisian filsafat yang berbeda dari disiplin pengetahuan tentang realitas lainnya (seperti ilmu, agama, atau seni). Secara terminologis, penulis menggunakan definisi filsafat sebagai
kegiatan/hasil pemikiran/permenungan mendalam dan radikal yang menyelidiki sekaligus mendasari segala sesuatu yang berfokus pada makna di balik kenyataan/teori yang ada untuk disusun dalam sebuah sistem pengetahuan rasional.

Perenungan kefilsafatan merupakan percobaan untuk menyusun sebuah sistem pengetahuan rasional yang memadai untuk memahami dunia maupun diri sendiri. Filsafat adalah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.

29 Agustus 2016

Tubuh yang Mendidik: Revolusi Kopernikan Pendidikan Jasmani



Tubuh yang Mendidik: Revolusi Kopernikan Pendidikan Jasmani

Dr. Made Pramono, M.Hum.
FIK Universitas Negeri Surabaya

Abstrak
            Tubuh adalah kondisi yang memungkinkan pengalaman dan pengetahuan, dan bukan hanya alat atau objek yang terpisah dari diri yang sesungguhnya yang berupa jiwa. Jika filsafat pendidikan jasmani selama ini hanya menekankan proses “mendidik tubuh” melalui berbagai wawasan kognitif, afektif, maupun psikomotorik, maka reinterpretasi restoratif ontologis dan epistemologis bahwa pendidikan jasmani itu “mendidik melalui tubuh” perlu di(re)aktualisasikan. Pada tataran aksiologis, pengejawantahan (re)aktualisasi tersebut bahkan mengarah pada revolusi pendidikan jasmani yang meneguhkan eksistensi tubuh sebagai subjek yang mendidik. Kelaziman paradigmatik bahwa “aku adalah jiwaku” sedangkan tubuh dipersepsi dan diperlakukan sebagai objek, cukup mempersulit pemahaman bahwa tubuh secara primordial mendidik diri dan orang lain dengan berbagai sensitivitas, estetik, etik, politis, bahkan spiritual. Dominasi instrumentalisme kebudayaan kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo faber, meneguhkan keengganan bagi dunia pendidikan (khususnya pendidikan tinggi, termasuk di Indonesia) untuk memasukkan pendidikan jasmani sebagai salah satu komponen inti kurikulum. Hal ini masih ditambah dengan pemahaman bias bahwa pendidikan jasmani sekedar mengajarkan pengetahuan dan praktek berolahraga yang tidak menjanjikan “nilai lebih”. Tubuh yang mendidik, merupakan tawaran revolutif pendidikan jasmani yang mengembalikan hakikat tubuh sebagai subjek primordial kemanusiaan.
Kata Kunci: Tubuh yang Mendidik, Revolusi

A. Jasmani sebagai Objek, Jasmani sebagai Subjek
Bangsa ini sejak awal kemerdekaan selalu menyertakan pendidikan jasmani sebagai salah satu pelajaran wajib di sekolah. Kurikulum tahun 1947, “Rentjana Peladjaran”, dan rentetan kurikulum berikutnya hingga saat ini (2016), yang selalu disertakan adalah mata pelajaran pendidikan jasmani (Sukendro, 2012: 7-9). Kesadaran bertubuh secara mendasar dipikirkan oleh bangsa ini untuk selalu memperoleh porsi penting dalam proses pendidikan. Jika kemudian saat ini pendidikan jasmani dikesampingkan sebagai mata pelajaran penting (misalnya dengan tidak diperhitungkan di UN) dan di dunia perguruan tinggi seolah-olah berbagai kampus mencukupkan “pendidikan jasmani” ke ranah ekstrakurikuler karena justru dianggap membebani SKS “penting”, maka hal tersebut bagi penulis merupakan fenomena menarik dan memerlukan analisis dan riset tersendiri. Dunia pendidikan bagaimanapun tetap sepakat bahwa apapun keahlian dan aktivitas seseorang, kesehatan dan kebugaran tubuh merupakan prakondisi yang vital. Tanpa memperhatikan kebutuhan dan kepentingan tubuh, apapun kepentingan manusia bisa dipastikan tidak akan seimbang yang cenderung mengarah pada ketidaktuntasan bahkan penghancuran diri.
Wacana tentang tubuh dalam ranah ilmu-ilmu sosial mulai muncul sekitar tahun 1980-an, terutama dipicu dengan pro dan kontra aspek sosial dan politis dari feminisme, persoalan rumit seputar teknologi medis dalam fertilisasi, teknologi realitas virtual, teknologi cyborg di bidang industri dan kemiliteran, serta estetika tubuh dalam budaya konsumtif modern. Kemunculan bermacam-macam wacana sosiologi tubuh dipengaruhi tradisi teoritis filsafati tertentu, namun demikian karya-karya Michel Foucault bisa dianggap karya paling signifikan dalam analisis sosial tentang kebertubuhan. Perlu dicatat di sini, perspektif Foucault tentang disiplin tubuh bercorak perspektif fenomenologis a la Merleau-Ponty. Tentu saja peran Husserl, Heidegger, dan juga Wilhelm Dilthey harus dipertimbangkan sebagai satu garis pertumbuhan eksplorasi dan pemahaman sosiologi-fenomenologis tubuh. Tanggapan kritis terhadap pandangan rasionalisme Cartesian menyeruak dan mengambil tempat kemudian ke dalam orientasi post-strukturalis, dengan menggagas tema-tema tentang emosi, hasrat dan kasih sayang, diri modern menuntut sensibilitas dan emosi-emosi, dan keintiman kebertubuhan (Pramono, 2014: 89).
Jasmani atau aktivitas jasmani merupakan objek material dari bidang kajian yang disebut secara luas sebagai pendidikan jasmani (pendidikan jasmani). Pendidikan jasmani secara umum bisa diartikan sebagai “pendidikan dari dan melalui aktivitas fisik yang diterima individu secara formal khususnya dalam konteks institusional” (Newell, 1990: 227). Tulisan ini secara bergantian mempersamakan jasmani dengan istilah tubuh, di mana tubuh/jasmani yang dimaksud adalah tubuh manusia sebagai satu kesatuan kompleksitas struktur fisiologis, anatomis, biologis yang tampak sebagai keseluruhan jasad yang kelihatan dari bagian ujung kaki sampai ujung rambut (KBBI, 2008). Kata jasad mengacu pada sesuatu yang dapat dikontraskan dengan pikiran, roh, sifat, atau tingkah laku.
Permasalahan filosofis muncul ketika mengidentifikasi apa objek formal dari pendidikan jasmani ini yang memperbedakannya dengan bidang-bidang kajian lain yang juga membahas jasmani seperti biologi, antropologi, filsafat manusia, dan sebagainya. Pernyataan yang paling mudah dikemukakan secara harfiah untuk menjawab apa objek formal pendidikan jasmani adalah bahwa pendidikan jasmani mengkaji jasmani dalam konteks pendidikan. Menurut pendapat ini, bisa disebutkan bahwa objek material pendidikan jasmani adalah jasmani dilihat dari perspektif pendidikan terhadapnya. Secara lebih singkat, pendidikan jasmani berarti mendidik jasmani/tubuh. Hal ini dianut secara luas oleh beberapa ilmuwan, termasuk dalm tulisan Newell di atas. Frase “...education of and through physical activity...” sebagaimana ditulis Newell (2012: 227) menegaskan makna relatif antara pendidikan dan aktivitas fisik yang terhubung kata sambung “dari” (lebih cocok diganti “untuk” dengan melihat konteks penjelasan Newell lebih lanjut di tulisannya) dan “melalui”.
Objek formal pendidikan jasmani dengan demikian juga bisa ditegaskan di sini: jasmani yang dilihat sebagai medium untuk mentransfer pengetahuan atau menanamkan karakter atau memampukan kecakapan tertentu. Secara singkat, objek formalnya adalah jasmani sebagai medium pendidikan. Jika yang pertama berfokus pada jasmani dari perspektif pendidikan (di mana jasmani sebagai objek yang menjadi tujuan proses pendidikan), maka yang kedua ini lebih menekankan jasmani sebagai medium proses pendidikan. Medium untuk mendidik siapa? Tentu kepada “subjek” manusia.
Kedua perspektif di atas secara gamblang melihat jasmani sebagai objek, meskipun dengan tekanan yang berbeda. Subjek yang mendidik dan/atau yang dididik adalah diri yang berupa jiwa. Dualisme Cartesian sangat kental dalam kedua perspektif ini: bahwa manusia terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai dua substansi terpisah, di mana yang disebut “Aku” biasanya selalu merujuk pada jiwa, bukan pada tubuh. Pernyataan Rene Descartes yang terkenal “cogito, ergo sum” menjadi lambang penekanan rasionalitas di dunia Barat saat ini. Pemisahan substansi tubuh (res extensa) dengan jiwa (res cogitans) menelurkan konsep dunia mekanis yang saat ini masih menjadi dasar bagi sebagian besar ilmu (termasuk dalam pendidikan jasmani), dan memengaruhi secara luar biasa banyak aspek kehidupan. Bagi Descartes, tubuh lebih serupa mesin yang digunakan oleh jiwa (Bertens, 2001: 140; Capra, 1997: 32).
Perspektif lain bisa diteruskan (bukan hasil negasi) dari pemaknaan “pendidikan dari/untuk tubuh” atau “pendidikan melalui tubuh” ini, yakni tubuh yang mendidik. Tubuh mereferensikan pengalamannya (pre-reflektif dan reflektif) kepada tubuh lain atau kepada jiwa (diri atau orang lain). Perspektif ketiga ini berada di antara dualisme menuju monisme. Kesadaran tubuh ini pada puncak aktualisasinya mewakili monisme murni yang melihat “Aku” sebagai kesatuan: kesatuan pikiran dan gerak raga, kesatuan tubuh dan jiwa. Tidak ada pembedaan substansial antara tubuh dan jiwa sebagai “Aku”.
Jasmani yang dididik, jasmani sebagai medium proses mendidik, dan jasmani yang mendidik adalah tiga perspektif yang bisa diajukan sebagai objek formal pendidikan jasmani.  Meskipun perspektif ketiga tidak semudah dua perspektif lain dalam memahami dan menangkap operasionalitasnya, sebenarnya ketiga perspektif ini ada dalam praktek “pendidikan jasmani” di Indonesia baik secara formal (diawali tahun 1941 dengan didirikannya AILO oleh Belanda) maupun informal (perlu penelitian lebih detail untuk mengidentifikasi “pendidikan jasmani informal” ini, misalnya jejak sejarah kanuragan nusantara). Berikut diuraikan ketiga perspektif tersebut.

1. Jasmani yang Dididik
Hylomorphisme Aristotelian bisa diajukan sebagai ilustrasi filosofis paling tepat untuk menggambarkan bagaimana melalui pendidikan jasmani, tubuh dididik oleh subjek jiwa dengan serangkaian dimensi: fisik, teknik, strategik, taktik, dan mental. Sebagai wadah (hyle dalam filsafat Aristoteles), tubuh diisi/dididik dengan dimensi-dimensi di atas beserta berbagai tahapan dan implementasi temuan-temuan ilmiah tentangnya. Jiwa (morphe dalam filsafat Aristoteles) mengisi tubuh dengan hal-hal tersebut secara terfokus dan bertujuan khas. Fokus dan tujuan tersebut bisa berupa kesehatan, kepulihan, ketangkasan, kelincahan, kecepatan, daya tahan, dan sebagainya. Penekanan utama dari perspektif ini adalah pada kebutuhan dan kepentingan tubuh sebagai tujuan terpenting, yang berkonsekuensi pada kebutuhan dan kepentingan jiwa.
Meskipun orientasi pembinaan tertuju pada aspek jasmani, namun demikian seluruh skenario adegan pergaulan yang bersifat mendidik juga tertuju pada aspek pengembangan kognitif dan afektif sehingga pendidikan jasmani merupakan intervensi sistematik yang bersifat total, mencakup pengembangan aspek fisik, mental, emosional, sosial dan moral-spiritual (KDI Keolahragaan, dalam Pramono, 2014: 230).
Tubuh adalah objek, jiwa adalah subjek. Pandangan fundamental seperti ini menjadikan tubuh diperlakukan relatif sebagai sesuatu yang hanya berfungsi reseptif dan pasif. Tetapi sebagai objek yang lekat dengan multidimensionalitas manusia sebagai pemiliknya, tubuh juga diyakini bisa berubah seiring perlakuan terhadapnya, baik secara natural maupun artifisial. Tingkat penerimaan yang terorganisir dari masyarakat olahraga terhadap kerangka kerja ilmu-ilmu alam serta penerapan skema behavioristik dan stimulus-respon merupakan bukti yang jelas untuk hal ini, yang meneguhkan pemahaman bahwa perwujudan manusia (atlet) lebih sering diobjektivikasi dan direduksi sedemikian rupa  (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995: 91).
Untuk tujuan kesehatan, tubuh yang bisa melapuk dan rusak ini dididik untuk memperlama masa optimalnya dalam upaya jiwa agar selama mungkin hidup dan selama mungkin sehat bugar. Demikian juga halnya dengan tujuan kepulihan, di mana tubuh dikenakan berbagai perlakuan untuk kembali kepada masa optimalnya dalam menghadapi kehidupan. Tubuh tidak hanya diupayakan optimal, tetapi juga maksimal. Atas dasar hasrat naluriah tersebut, tubuh dikuatkan, dilincahkan, di-daya tahan-kan, dimampukan untuk lebih cepat, tangkas, kokoh, dan awet bugar. Karakter reseptif dan pasif dari tubuh dengan demikian dianggap sebagai lokus kepentingan diadakannya pendidikan jasmani, dengannya tubuh dididik untuk mematuhi kebutuhan-kebutuhan diri di atas: diri yang adalah berupa “Aku-jiwa”.
2. Jasmani sebagai Medium
Perspektif kedua ini tidak mudah dipisahkan bahkan diperbedakan dari perspektif pertama. Melanjutkan pandangan yang pertama di atas, manusia menghendaki sesuatu, yang agar tercapai memerlukan medium berupa jasmani. Pendisiplinan tubuh agar sesuai dengan standar/ukuran tertentu, adalah salah satu contohnya. Ketika manusia (lebih spesifik lagi: jiwanya) menghendaki agar orang-orang lain mengaguminya, maka tubuh dicitrakan sedemikian rupa sehingga standar-standar citra tubuh ideal diupayakan. Melalui pendidikan jasmani maupun olahraga, tubuh diperlakukan sedemikian rupa sehingga bisa diproyeksikan ke orang-orang lain dan dirinya sendiri bahwa “dia” (subjek) layak untuk dianggap pantas, ideal, seksi, macho, disegani, dan hal-hal lain sejenisnya.
Berbeda tipis dari perspektif pertama, titik tekan perspektif tubuh sebagai medium proses pendidikan ini adalah pada tujuan lain sebagai hasil proses pendidikan jasmani, dan bukan didominasi untuk berhenti pada kebutuhan dan kepentingan tubuh. Atas dasar itulah, tujuan lain tersebut berarti bukan bersifat kebertubuhan, atau setidaknya melampaui kebutuhan dan kepentingan tubuh sebagaimana disebutkan di paragraf sebelumnya. Citra tubuh ideal, pembentukan karakter, gaya hidup, dan prestasi (terutama di bidang olahraga) adalah berbagai kerangka tujuan tersebut. Objektivitas tubuh meskipun tidak setajam perspektif pertama, namun juga ditekankan dengan cara “mengendarai tubuh” menuju arah tujuan tertentu tersebut.
Pendidikan melalui jasmani bagi fenomenologi tubuh Merleau-Ponty, tak sekedar dihayati secara sempit dalam hal olahraga, namun setiap pengalaman darinya persepsi, dunia, dan tubuhku tumpang tindih, niscaya diterima tidak hanya oleh pikiranku tetapi juga oleh tubuhku. Sebagai konsekuensi praktisnya, pendidikan melalui tubuh/jasmani, berarti sama maknanya dengan pendidikan melalui pikiran/jiwa. Ini berlangsung resiprokal. Pendidikan (atau pengetahuan) melalui pikiran/jiwa, identik – bahkan secara ontologis didahului - dengan pendidikan melalui tubuh. Kedua ungkapan resiprokal ini hanya perlu diberi catatan bahwa “tugas” untuk setiap jenis pengetahuan/pengalaman sudah dibedakan secara anatomis-fisiologis (misalnya suara didengar telinga, ingatan disimpan otak) (Pramono, 2014: 231).
3. Jasmani yang Mendidik
Kesadaran primordial atau pra-reflektif merupakan titik awal sekaligus dasar dari argumen perspektif ketiga ini. Objek-Dunia menyentuh Aku-Subjek pertama-tama melalui tubuh. Merleau-Ponty menyebut “ontologi daging” untuk menggambarkan sentuhan dari kesatuan tak terpisahkan antara aku dan duniaku ini - yang dia istilahkan sebagai chiasmus. Bukan pikiran yang pertama-tama mengidentifikasi persentuhan sesuatu dengan tubuh, tetapi daging. Hanya saja di tahap primordial ini daging berikatan atau bersentuhan dengan sesuatu (misalnya hawa udara atau kulit tangan) tanpa mengobjektivikasikan sesuatu itu. Objektivikasi hanya terjadi di tahap reflektif, tahap sesudah tubuh memancarkan pengetahuan untuk ditangkap pikiran. Inilah mengapa paham monisme murni sangat kental di perspektif ini: “Aku adalah (juga) tubuhku”. “Tubuh-subjek” adalah entitas atau realitas tunggal yang bukan mental bukan pula fisik, tetapi serempak keduanya. Penerimaan informasi pengetahuan apapun, termasuk dalam aktivitas fisik, dikelola oleh aku yang sekaligus jiwa dan tubuh (Meier, dalam Morgan dan Meier (ed.), 1995: 91; Pramono, 2014: 232).
Berdasarkan pemahaman primordial tersebut, tubuh – yang bersama-sama jiwa berada sebagai satu kesatuan tak terpisahkan – sesungguhnya merupakan lautan pengetahuan maha luas. Hanya sebagian dari pengetahuan itu yang tersaring sebagai pengetahuan yang disadari, pengetahuan jiwa. Kondisi primordial ini adalah kondisi sangat azali, sangat alami, yang belum dikenai standar-standar produk pemikiran apapun. Kepolosan dan kealamiahan kesadaran tubuh inilah yang bagi penulis dianggap penting untuk memunculkan istilah “tubuh yang mendidik”, di mana tubuhlah yang menggerakkan “aku”[1] untuk berkarakter, berpengetahuan, bersikap, dan bergerak dalam rentang kualitas tertentu.
Pendidikan jasmani menurut perspektif ini berarti optimalisasi tubuh yang membentuk karakter tertentu, memberi pengetahuan tertentu, menuntun untuk bersikap tertentu, dan memampukan bergerak sesuai ukuran tertentu. Tentu saja kerja jiwa seperti pikiran, ingatan, atau kesadaran tetap penting, namun lebih sebagai pengarah atau penyelaras. Patut ditekankan lagi, bahwa hubungan tubuh dan jiwa ibarat dua sisi dari uang yang sama. Satu substansi dari dua aspek manunggal dari diri manusia.

B. Bidang Studi dan Fokus Aktivitas
Di Indonesia, pendidikan jasmani dan olahraga merupakan bagian dari olahraga pendidikan, satu di antara tiga domain ruang lingkup olahraga dalam UU No. 3 SKN (Sistem Keolahragaan Nasional).  Dua domain yang lain adalah olahraga rekreasi dan olahraga prestasi. Adanya olahraga prestasi sebagai domain tersendiri secara tegas mengindikasikan bahwa pendidikan jasmani tidak diarahkan untuk menelurkan olahragawan berprestasi, tetapi untuk tujuan yang segaris dengan Sistem Pendidikan Nasional. Jabaran UUD 1945 tentang pendidikan yang dituangkan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 menyebutkan,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Pendidikan jasmani, menurut logika hukum, berada di wilayah pembidangan pendidikan, yang berarti juga patuh pada tujuan pendidikan nasional (bukan untuk tujuan lain). Tentu saja ada rasionalisasinya ketika melalui pendidikan jasmani, olahraga prestasi mendapatkan bibit olahragawan sejak usia dini.
Pembentukan habituasi olahraga seperti suasana menyenangkan dalam beraktivitas, pengajaran keterampilan gerak yang benar, penanaman nilai-nilai sportivitas, motivasi berolahraga yang tinggi, adalah beberapa relevansi pendidikan jasmani terhadap identifikasi dini olahraga prestasi di lembaga pendidikan. Tetapi pendidikan jasmani tidak valid untuk diarahkan membentuk olahragawan prestasi, karena, sekali lagi, bukan itu tujuan pendidikan jasmani. Konsekuensinya, guru/dosen yang memberi materi dominan olahraga prestasi di mata pelajaran/kuliah pendidikan jasmani, berarti melakukan tindakan menyimpang, baik secara legal maupun substansial. Prestasi ke-cabor-an (cabang olahraga) hanya bagian kecil (bukan dominan) dari keseluruhan muara pendidikan jasmani. Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 486) mengeksplisitkan hal ini:
Pendidikan jasmani, olahraga, dan kesehatan merupakan bagian integral dari pendidikan secara keseluruhan, bertujuan untuk mengembangkan aspek kebugaran jasmani, keterampilan gerak, keterampilan berpikir kritis, keterampilan sosial, penalaran, stabilitas emosional, tindakan moral, aspek pola hidup sehat dan pengetahuan lingkungan bersih melalui aktivitas jasmani, olahraga dan kesehatan yang dirancang secara sistematis dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional.

Pendidikan jasmani memang berobjek kajian jasmani, tetapi tidak sembarang keberadaan atau aktivitas jasmani. Pendidikan jasmani lebih mengarusutamakan jasmani dalam konteks dasar-dasar keterampilan gerak yang benar dalam konteks keolahragaan atau kesehatan. Itulah sebabnya Ivo Jirasek menggantikan istilah physical education dengan kinanthropology untuk menekankan pada fokus aktivitas jasmani yang terarah pada konteks keolahragaan dan kesehatan (Jirasek, 2003: 109).
Literasi tubuh (physical literracy) dalam konteks kesehatan atau keolahragaan, bisa menjadi tema utama sekaligus muara dari pendidikan jasmani. Tubuh tidak hanya didekati dari sudut pandang ilmu keolahragaan atau pendidikan jasmani, tetapi juga bisa dilihat dari berbagai bidang kajian lain seperti kesehatan/kedokteran, fisika, biokimia, bahkan sosiologi atau sejarah. Literasi tubuh dalam konteks pendidikan jasmani oleh karenanya dibatasi pada penguasaan aspek-aspek mendasar tentang tubuh, entah fisiognomi dasar, keterampilan gerak dasar, sosioantropologi dasar. Penguasaan wawasan kebertubuhan dasar ini pada akhirnya memberi ruang pada guru/dosen dan siswa/mahasiswa untuk selalu membuka diri terhadap kerelatifan kebenaran tentang tubuh sekaligus membuka diri terhadap ruang-ruang gelap yang belum sepenuhnya disibak oleh pengetahuan modern. Tulisan Frithjof Capra (1997) atau Deepak Chopra (1996) yang mempersandingkan kearifan timur dengan sains mutakhir, masih sangat relevan dipertimbangkan sebagai cakrawala wawasan kebertubuhan yang terbuka dan unfinished truth. 
Tubuh sebagai objek sebagaimana tergambar di sepanjang sejarah ilmu dan filsafat di berbagai belahan dunia, pada hakikatnya memposisikan tubuh selalu dalam posisi subordinat jiwa. Pandangan subordinasi tubuh (tubuh sebagai objek) memang tidak perlu dipersalahkan atau dikhawatirkan, termasuk dalam proses pendidikan jasmani, selama tubuh tidak diperlakukan sebagai semata-mata objek pemuas jiwa yang dipaksa-paksa, dimanipulasi, diracuni, atau bahkan dimutilasi untuk melayani “kebutuhan” jiwa. Kasus kerja paksa, doping atlit, operasi penghilangan jari kelingking kaki untuk peraga sepatu, dan sejenisnya adalah contoh perlakuan tidak pada tempatnya bagi tubuh. Dominasi instrumentalisme kebudayaan kontemporer yang fokus pada manusia sebagai homo faber memungkinkan pandangan sesat terhadap relasi tubuh dan jiwa yang bisa saja – dan sudah – terjadi. Penolakan dan kewaspadaan beberapa pemikir seperti Maine de Biran, Ludwig Feuerbach, Friedrich Nietzsche, Merleau-Ponty, dan Gabriel Marcell mewakili paham yang mengangkat objektivikasi tubuh ke pemikiran sebaliknya: subjektivitas tubuh.

C. Revolusi Kopernikan Tubuh
Tubuh adalah subjek, atau, Aku adalah tubuhku. Tubuh bukan sejenis alat sebagaimana gunting untuk memotong kertas, bukan pula wadah tempat jiwa tumbuh berkembang. Tubuh adalah subjek kesatuan manusia dengan dunianya. Subjek tidak bisa dipisahkan dari tubuh (Merleau-Ponty, 1962: 75). Manusia terhubung dengan dunia pertama-tama bukan oleh jiwanya, tetapi oleh tubuhnya. Menurut Merleau-Ponty, seseorang adalah tubuhnya, dan berbeda dengan Descartes, seseorang tidak terhubung dengan tubuhnya sebagai objek eksternal. Pengetahuan yang terlibatpun bukanlah pengetahuan reflektif. Inilah apa yang disebut Merleau-Ponty sebagai “kerajaan pra-objektif” (Syamsuddin, 2014: 64-65).
Persepsi merupakan fenomena jasmaniah (digunakan dalam arti yang sama oleh penulis dengan istilah kebertubuhan), bukan peristiwa mental yang terjadi di akhir rantai sebab-akibat fisis sebagaimana dugaan Descartes. Tubuhlah yang menyadari, bukan pikiran. Artinya, aku menyadari bukan sebagai subjek berhadap-hadapan dengan objek, namun sebagai agen-agen jasmaniah di dalam dan terhadap dunia. Merleau-Ponty memahami persepsi sebagai aspek apa yang disebutnya, mengikuti Heidegger, “being in the world” (être au monde). Misteri persepsi dengan demikian adalah misteri bahwa meskipun kita sendiri ‘tertanam” di dalam dan bagian dari dunia, yang pada dirinya sendiri tidak sepenuhnya kabur dan tak dapat dimasuki, namun terbuka bagi kita sebagai medan kesadaran dan tindakan. “Persepsi”, demikian tulis Carman, “adalah selalu sekaligus pasif dan aktif, situasional dan praktis, terkondisikan dan bebas” (Carman, 2008: 27 dan 79). Tubuh dan dunia adalah dua entitas yang tak terpisahkan. Kepenuhan yang satu diperoleh dengan menyentuh yang lain. Tubuh menjadi utuh dengan menyentuh dunia. Sebaliknya dunia menjadi dapat dipersepsi dengan menyentuh tubuh (Pramono, 2014: 95).
Struktur bawaan, kemampuan umum dasar, dan kemampuan kebudayaan yang berangkat dari tubuh yang tumpang tindih dengan dunia dan kesadaran, dalam penelitian ini dikerucutkan pada konsep dan konteks skill (kecakapan). Merleau-Ponty menggunakan istilah “habit” (kebiasaan) sebagai sinonim “skill”, sehingga ketika dia merujuk pada pencapaian kecakapan dia mengatakan “pencapaian kebiasaan” (Merleau-Ponty, 1962: 143). Kemampuan mengalami baginya seolah sama dengan pencapaian kecakapan menubuh.
The analysis of motor habit as an extension of existence leads... to an analysis of perceptual habit as the coming into possession of a world. Conversely, every perceptual habit is still a motor habit and here equally the process of grasping a meaning is performed by the body (Merleau-Ponty, 1962: 153).

Pancaran intensional (intentional arc)[2] diajukan Dreyfus sebagai cara mengokohkan persepsi dan aksi kecakapan, suatu cara kecakapan menubuh dalam menentukan cara segala sesuatu menunjukkan diri ke seseorang (Dreyfus, 1996: 3). Pancaran intensional ini dianggap sebagai interkoneksi menubuh dari tindakan dan persepsi kecakapan.  Tubuh yang mendidik digambarkan dengan cara pancaran intensional ini: mengangkat kesatuan perseptual pra-reflektif subjek didik, dunia, dan kesadaran sebagai awal dari kesadaran reflektif untuk mengidentifikasi, mengklasifikasi, menstrukturisasi, mensistematisasi, dan seterusnya, berbagai konsep hasil dari pancaran-pancaran intensional terpilih.
Literasi tubuh mengokohkan pancaran intensional ini dalam rangka mengkonstruksi berbagai hal, dalam hal ini me(re)konstruksi pemahaman, sikap, dan arah bagaimana seseorang (siswa/mahasiswa) memperlakukan tubuhnya dan tubuh yang-lain, menyimpulkan sesuatu dari kesadaran menubuh tersebut (misalnya pembentukan karakter), serta memproyeksikan kebertubuhannya dalam konteks kebertubuhan (dan, dengan demikian, kemanusiaan) universal. Pendidikan jasmani tidak lagi sekedar mengobjektivikasi tubuh, tetapi justru tubuhlah yang menjadi subjek mendidik darinya berbagai konsep, teori, atau tindakan mengambil tempat yang semestinya. Komunikasi literasi tubuh dengan pancaran intensional ini bersifat niscaya dan terus menerus, sehingga pendidikan jasmani juga sudah semestinya dilihat sebagai proses pendidikan yang terbuka dan dinamis.
Meskipun pancaran intensional ini tidak selalu (bahkan jarang) signifikan bagi munculnya revisi literasi tubuh yang sudah ada, tetapi “tubuh universal” juga tidak selalu sepenuhnya dipatuhi oleh “tubuh subjektif”. Ini berarti, seorang siswa bisa saja memiliki kekhasan untuk mampu berenang cepat di lintasan yang ditentukan, misalnya dengan memejamkan mata di setiap hitungan atau tanda tertentu, di luar apa yang diinformasikan oleh literasi tubuh yang ada. Pengalaman pada dirinya sendiri selalu bersifat sangat subjektif dan spontan atau pra-kesadaran sebagai gambaran dari proyeksi-proyeksi pancaran intensional terus menerus tersebut. Pengalaman ini untuk menjadi pengetahuan bersama, dikoneksikan dengan berbagai wawasan yang sudah ada, dalam hal ini literasi tubuh. Pengalaman tubuh, oleh karena itu, selalu merupakan penjumlahan pancaran intensional tak terbatas sebagai karakter primordial dari “Aku” (digambarkan secara detail melalui model berikut ini).

Pengalaman tubuh
Jumlah seluruh pengalaman yang menyatu sebagai Aku, yang dibuat dalam pengembangan tubuh sendiri baik individual maupun sosial, menjadi kognitif atau afektif, sadar atau tak sadar
Orientasi Tubuh
Orientasi dalam dan pada tubuh sendiri dengan sensibilitas luar dan dalam, khususnya persepsi kinesthetik                     
Estimasi Ukuran Tubuh
Estimasi dimensi ukuran dan ruang tubuh sendiri
Pengetahuan Tubuh
Pengetahuan faktual bangunan dan fungsi tubuh serta bagian-bagiannya termasuk perbedaan kanan-kiri
Kesadaran Tubuh
Representasi psikologis dari tubuh atau bagian tubuh dalam pikiran individual atau perhatian langsung ke arah tubuh sendiri
Batas Tubuh
Pengalaman batas-batas tubuh; tubuh dalam perbedaannya dengan lingkungan
Sikap-Sikap Tubuh
Sikap total ke arah tubuh dan penampakannya, khususnya kepuasan tubuh (atau ketidakpuasannya)
Skema Tubuh
Aspek neurofisiologis dari pengalaman tubuh, mengisi seluruh tampilan perspektif-kognitif dari individu tentang tubuhnya sendiri
Kesan Tubuh
Aspek psikologis-fenomenologis dari pengalaman tubuh yang mengisi seluruh tampilan emosional-afektif individu tentang tubuhnya sendiri
















Aktivitas jasmani (olahraga maupun non-olahraga) didominasi pengalaman langsung. Pengalaman langsung tidak mengenal apapun objek murni, namun selalu berupa subjek yang mengalami. Subjek yang mengalami dalam persentuhannya dengan dunia ini adalah subjek alami, subjek yang ada hanya melalui tubuhnya (Syamsuddin, 2014: 65). Ilustrasi tentang mengendarai mobil yang diketengahkan Merleau-Ponty sebagai corporeal schema, menarik untuk lebih memahami “pengalaman langsung” tersebut dalam arti praktis. Saat mengendarai mobil, seseorang tidak berpikir “tentang” mobil, namun berpikir “sebagai” mobil, “dari sudut pandang mobil”. Konsentrasi di jalan tidak dapat terjadi jika seseorang masih berpikir tentang mobil. Mobil telah menubuh dalam corporeal schema seseorang itu dan dengan demikian menjadi perluasan tubuh manusia (Syamsuddin, 2014: 67).
Instruktur/guru/dosen dalam membelajarkan pendidikan jasmani menurut logika ini tidak mencukupkan diri dengan menyodorkan diktat/modul/buku sesuai kurikulum untuk dilaksanakan di kelas secara bersama-sama, namun juga selalu mengkomunikasikan pengalaman siswa sebagai feed back berharga yang bisa saja direkonseptualisasikan sebagai modifikasi (penambahan, pengubahan, pengurangan) dari materi yang sudah ada. “Ayunan” antara tubuh sebagai objek dan tubuh sebagai subjek terus menerus terjadi bahkan dalam hitungan yang “serentak” dalam proses pendidikan jasmani. Pendidikan jasmani di satu sisi menempatkan jasmani sebagai objek, tetapi di saat yang sama menempatkannya sebagai subjek. Pengetahuan yang berjalanpun, tidak hanya berasal dari “luar”, yang “universal”, tetapi juga bisa berasal dari “dalam”, yang “subjektif”; tidak hanya berasal dari buku-buku, modul, literasi tubuh, perundang-undangan, tetapi juga bisa berasal dari pengalaman spontan dan otentik dari tubuh.
Setidaknya ada konsekuensi filosofis ketika cara pandang relatif terhadap posisi objek dan subjek suatu hal dianalisis secara intensif, bahkan bisa jadi hal itu menghasilkan suatu revolusi kopernikan (meminjam istilah Kant untuk usahanya mengubah arah pandang proses berpikir filsafat). Revolusi kopernikan pengalaman tubuh di pendidikan jasmani ini memang mengkonsekuensikan pembalikan cara pandang: yang semula tubuh semata-mata objek yang diberi perlakuan atau diisi pengetahuan tertentu, diubah secara drastis bahwa tubuh adalah subjek yang mendidik. Manusia yang di posisi subjek didik pendidikan jasmani, berarti senantiasa memeriksa cara pandang terhadap tubuhnya dalam kaitannya dengan berbagai dimensi ketubuhannya mulai dari dimensi fisiognomi hingga psikososial, dari struktur fisik ke universalitas entitas, dari urusan perut hingga ke urusan spiritual!








DAFTAR PUSTAKA

Badan Standar Nasional Pendidikan, 2006, Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar, BSNP.
Bertens, K., 2001, Filsafat Barat Kontemporer: Prancis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Capra, Fritjof, 1997, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, alih bahasa: M. Thoyibi, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta.

Carman, 2008, Merleau-Ponty, Routledge, Oxon.
Chopra, Deepak, 1996, Tubuh Yang Tak Kenal Tua, Pikiran Abadi: Alternatif Untuk Menjalani Kehidupan, alih bahasa T. Hermaya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Departemen Pendidikan Nasional, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dreyfus, Hubert L., The Current Relevance of Merleau-Ponty's Phenomenology of Embodiment, dalam The Electronic Journal of Analytic Philosophy, 4 (Spring 1996) Philosophy Department, Sycamore Hall 026, Indiana University, Bloomington.
Jirásek, I, 2003b, Philosophy of Sport, or Philosophy of Physical Culture? an Experience from the Czech Republic: Philosophical Kinanthropology, dalam Sport Education and Society, 8(1), 2003b, 105–117.

Meier, K.V., 1995, “Embodiment, Sport and Meaning, dalam William J. Morgan dan Klause V. Meier (ed.), Philosophic Inquiry in Sport, Second Edition, Human Kinetics, Champaign, USA.

Merleau-Ponty, M., 1962, The Phenomenology of Perception, Colin Smith (transl.), Routledge and Kegan Paul, London.

Newell, Karl M., 1990, Physical Education in Higher Education: Chaos Out of Order, Quest, 42:3, 227-242. Published online 2012.

Pramono, Made, 2014, Konsep Tubuh-Subjek Maurice Merleau-Ponty dalam Perspektif Ontologi dan Sumbangannya Bagi Rekonstruksi Filsafat Ilmu Keolahragaan, Disertasi, Pasca Sarjana Ilmu Filsafat UGM Yogyakarta, Tidak diterbitkan.

Sukendro, 2012, Telaah Kurikulum Pendidikan Jasmani di Indonesia, Jurnal Cerdas Sifa Pendidikan. Vol. 1 No. 1. Hal. 1-9.

Syamsuddin, M.Mukhtasar, 2014, Mind-Body Interconnection (A Philosophical Investigation on the Western and Eastern Approaches to the Human Nature), Kanisius, Yogyakarta.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional.



[1] Tanda petik untuk menandai pemaknaan teks yang sebenarnya tidak relevan di kondisi penyatuan atau chiasmus.
[2] Fenomena inti dari perhatian ke fenomenologis adalah intensionalitas – suatu kelangsungan objek (the object-directedness), atau ke-apa-an (“aboutness”) dari pengalaman. “Intensionalitas” sebagai salah satu tema pokok dan dasar fenomenologi digunakan oleh Husserl untuk menunjukkan hubungan kesadaran dengan objeknya (dalam konteks pengenalan), namun pada Merleau-Ponty paham yang sama terutama berperan untuk melukiskan kaitan subjek dengan dunianya. Bagi Merleau-Ponty kaitan subjek dengan dunianya bersifat pra-reflektif, artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran. Ini bukan lagi dalam konteks pengenalan, tetapi pada taraf eksistensi.