20 September 2015

Filsafat Olahraga itu Sesuatu Banget...

Ketika tahun 1998 Indonesia menyepakati Ilmu Keolahragaan sebagai ilmu yang mandiri, setahun berikutnya sayapun dipanggil untuk memperkuat ilmu baru tersebut. Tentu, dengan filsafat sebagai "core" saya. Di antara keresahan eksistensial saya (waduhh :D) di tempat itu, saya tentu mulai mencari tahu tanpa satupun teman yang menjadi guide. Eh, ralat, ada teman sih, namanya "buku KDI-Keolahragaan" yang terbit tahun 2000. Setelah baca-baca sekilas, saya baru memahami mengapa orang filsafat kok dicari2 oleh Fakultas Ilmu Keolahragaan Unesa (yang pada saat itu masih Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Negeri Surabaya).

Sampai tahun 2001, eksistensi (dan apalagi self-confident serta self-efficacy) saya masih belum sepenuhnya ter-charge dengan sempurna. Kerjaan saya mengajar, pulang. Itu aja tiap harinya. Hampir2 ngenes karena tidak tahu apa yang bisa kukontribusikan ke lembaga FIK khususnya, dan negeri ini umumnya dalam kaitannya dengan kapasitas saya sebagai orang filsafat di tengah2 belantara orang2 olahraga. Sekretaris Jurusan di mana saya mengabdi waktu itupun saat kukonsultasikan ke beliau, hanya manggut2 tidak "ngeh" dengan keluh kesah model saya. Hehe.. Satu orang kolega di kampus (sekarang sudah almarhum) yang kemudian "memanfaatkan" saya, dari situ saya perlahan2 mulai percaya diri.

Tahun 2001 - 2003 saya kuliah S2 di UGM. Dari jauh, saya melihat FIK Unesa dengan kacamata baru. Setidaknya saat itu saya mulai mengambil posisi "aku filsafat, aku dibutuhkan" meskipun masih belum optimal keteguhan sikap dan posisi saya itu. Dari keahlian komputer yang waktu itu di FIK masih cukup langka, saya mulai dikenal orang2 FIK. Bahkan sampai dipercaya membuat dan mengelola website. Hehe.. Percaya diri saya tambah gede.

Lalu, sayapun menulis buku. Filsafat Olahraga judulnya. Belum bergema sih, tetapi eksistensi saya sudah mantap di FIK. Siapa yang paling tahu filsafat olahraga, setidaknya di Unesa, sayalah orangnya. kata mereka begitu. Padahal saya masih merasa sebagai bayi yang tidak pernah disusui, tetapi harus segera dewasa.

Tiba-tiba tahun 2006 buku saya ke-4 tembus penghargaan nasional. Tentang Filsafat Ilmu. Banyak teman2 Unesa yang mulai bangkit semangat berkarya ilmiahnya setelah itu. Sudahlah, singkat cerita setelah itu sayapun sejajar dengan teman2 dosen lain. Setidaknya menurutku, ga peduli menurut yang lain. Hehe... Seperti biasanya aku, tidak ada yang memperbedakan aku dengan siapapun manusia dalam hal keharusan menunduk tawadhu, kecuali orang2 saleh. Hehe.. Intinya, aku sudah kembali menjadi aku yang penuh.

Kesibukan mengajar saya menjadi-jadi. Mengajar hampir 50 SKS dalam 1 semester sudah biasa bagi saya. Minim penghargaan, dan memang layak digoblok2in..kok mau2nya lo saya ini. Kuncinya, saya senang2 saja melakukannya. Semuapun terasa ringan. Xixixixi...

Setelah mendapat gelar Doktor Ilmu Filsafat tahun 2014 dengan Filsafat Olahraga sebagai kepakaran saya, di semester itu juga saya diminta mengajar S3 utk mata kuliah Filsafat Olahraga bersama Prof Toho CM, mantan rektor Unesa yang menjadi arsitek berubahnya IKIP menjadi Unesa, dan sekaligus arsitek deklarasi Ilmu Keolahragaan sbg ilmu yang mandiri. Saya bersanding dengan beliau utk mengajar calon2 Doktor Ilmu Keolahragaan! Wow... sesuatu yang 15 tahun seblumnya saya justru berada di posisi sebaliknya: "terasing" karena saya filsafat kok ada di tengah2 akademisi olahraga. Tuhan tidak sedang bermain2 dengan kemisteriusanNya.

Tahun 2015. Medio September. Terbitlah buku saya: "Filsafat Ilmu Keolahragaan", yang sejujurnya berangkat dari kisah kegalauan saya 15 tahun lalu itu... Bismillah-ku, menggema terus menerus di aliran kesadaranku.


25 Juli 2015

Say What They Want Or Not to Hear... (1)

Belenggu Kebebasan
Seingatku, penulis pertama yang mengisi otakku dengan pernyataan bahwa penyakit kronis patologis jaman sekarang adalah sulit berkata "tidak", adalah Erich Fromm. Keterbelengguan manusia dalam kungkungan pergaulan, gaya hidup, dan juga rutinitas, tampaknya memang tengah menjangkiti masyarakat ini. Kebebasan - membalik argumen Fromm - dimaknai secara terpotong sebagai "bebas untuk..", tetapi kerap kali tidak "bebas dari..". Jika Fromm sudut pandangnya lebih sebagai seorang patolog sosial kekirian, saya mengambil argumen spiritualitas sebagai tolok ukur menyatakan kebalikan dari konsep kebebasan Fromm itu.

Penjelasan saya simpel saja. Orang modern dengan segala macam modalitasnya (uang, jaringan, kekuasaan, pengetahuan) merasa "bebas" untuk melakukan dan bertindak apa saja, dan bahkan merasa bebas "dari" kungkungan apa saja (adat lama, kemiskinan, kebodohan, penjajahan, bahkan agama). Untuk konsep bebas yang pertama (bebas untuk..), saya sepakat dengan Sartre - eksistensialis kondang - bahwa memang manusia sekarang semakin bebas untuk apa saja pada garis kemungkinan individualnya. Maksud saya, misalnya orang Indonesia bebas untuk apa saja selama tidak membentur hak kebebasan orang lain untuk menggunakan jalan raya atau mengakses sumber-sumber daya. Kebebasan semacam ini patut diapresiasi positif sebagai jarak ontologis ternyaman dalam sejarah hubungan manusia dengan alam dan berbagai kekuatan adikodrati yang dipercayai. Kita acapkali latah menyebutnya "kebebasan yang bertanggungjawab". Alam (termasuk batas potensi badaniahnya) atau apalagi kekuatan adikodrati (Tuhan atau kekuasaan mistik lain) tidak lagi membelenggu secara berlebihan seperti masa-masa mitos mendominasi, tetapi manusia menyentuh alam dan kekuatan adikodrati itu sebagai semacam penerimaan nyaman mereka bahwa di situlah batas-batas kebebasan yang sesungguhnya. Tidak ada yang membelenggu manusia kecuali batas-batas kebebasan itu sendiri yang non-human.

Sebenarnya menarik apa yang difilsafatkan Merleau-Ponty dalam fenomenologi tubuhnya  bahwa justru tubuhlah yang secara primordial memegang kendali kebebasan mutlak, bahkan tanpa batas. Saat tubuh - dia ambil istilah persepsi, lalu kemudian daging - menyentuh realitas di tahap pra-reflektif, terjadilah chiasmus, keterjalinan tubuh dan dunia sebagai kesatuan primordial yang sekaligus menandakan apa yang tadi saya sebut kebebasan mutlak. Atau, jika boleh saya simpulkan pemikiran Merleau-Ponty ini, justru pikiran manusialah yang segera meluluhlantakkan kebebasan mutlak ini ke jurang terdalam eksistensial manusia. Pikiran atau kesadaran begitu muncul (saya setuju istilah intensional arc dari Merleau-Ponty untuk transmisi pra-reflektif ke reflektif) sesegera itu pula kebebasan primordial tadi terlempar jatuh. Lalu manusia mengenangnya sebagai penggalan-penggalan konsep kebebasan versi kesadaran (seperti juga tulisan ini). Meskipun agak absurd membicarakan hal-hal pra-reflektif dengan cara refleksi seperti ini, tetap saja manusia memiliki berkah tak terhingga mampu menyadari/merefleksikan apa saja yang pra-reflektif dari kediriannya.

Jika "konsep kebebasan" yang saya teruskan dari Merleau-Ponty ini sudah dipahami benar, maka kalimat saya di paragraf sebelum ini menjadi kurang bermakna, bahkan absurd, bahwa "tidak ada yang membelenggu manusia kecuali batas-batas kebebasan itu sendiri yang non-human". Betapa kemudian kebebasan yang sesungguhnya justru dibatasi oleh konsep tentang kebebasan itu sendiri! Okelah, saya mengabaikan keabsurdan ini, tetapi saya mencoba mengambil "intinya" sebagai dasar argumentasi saya bahwa selama-lamanya manusia dalam kesadarannya, tidak akan pernah "bebas dari..", bahkan juga "bebas untuk..". Berbeda dengan Sartre yang berteriak "orang lain adalah neraka", saya mengutuk bebasnya manusia ini atas dasar apa yang sudah saya sebut di atas: pikiranlah yang meluluhlantakkan kebebasan.

Apakah saya terdengar sedang berkata-kata sebagai seorang yogi atau spiritualis mistik? Bisa jadi, jika anda di saat yang sama juga mendengarkan Merleau-Ponty sebagai sedang menyentuh tahap mistik ini. Karena memang saya sedang meneruskan simpul filsafat Merleau-Ponty. Pemberontakan Merleau-Ponty memang "hanya" dengan meneguhkan bahwa "aku adalah tubuhku", "tubuhku adalah aku", untuk menggantikan nalar mistik yang lazim kita ikrarkan, bahwa "aku adalah jiwaku". Justru pemberontakan Merleau-Ponty inilah yang sebenarnya sedang saya baca sebagai Revolusi Copernican ke-3 setelah Kopernikus sendiri dan Immanuel Kant. Bukan tubuh yang harus dipenjara dihina dinistakan, tetapi justru pikiranlah yang menjadi biang kerok keterbelengguan manusia. Biang kerok yang dikutuk untuk kita pergunakan sebagai berkah! Biang kerok yang disyukuri keberadaannya sehingga saya bisa menulis seperti ini. Biang kerok yang sebenarnya bisa baik, bisa suci, sebaik dan sesuci tubuh!

Pada titik ini, saya sepenuhnya menegaskan bahwa - sekali lagi - manusia selama-lamanya tidak akan pernah bebas dalam arti sesungguhnya, selama manusia itu sadar. Kebebasan yang dikonsepsikan saat sadar, adalah kebebasan yang terbatas. Dan apabila kebebasan itu ada batasnya, maka bukankah sudah hilang eksistensi dari bebas itu? Ini artinya, kebebasan dalam arti yang disadari, adalah absurd, konsep yang bernilai nihil. Kebebasan seharusnya bebas, tidak berbatas. Entah batas itu kita contohkan dengan manusia lain, alam, atau kekuatan adikodrati.

Yang menarik, jika kita menelusuri apa ada entitas yang dalam kesadarannya kita yakini sebagai entitas bebas sebagaimana kesadaran mutlak pra-reflektif itu, maka dalam sejarah eksistensi, permenungan dan pemikiran manusia, Tuhan adalah Sang Entitas Bebas itu. Danah Zohar dan Ian Marshall dalam "Spiritual Quotient", sebenarnya sudah meraba wilayah itu, tetapi mereka hentikan sekonyong-konyong ketika menyadari bahwa "medan hampa kuantum" yang merupakan wilayah energi tanpa batas itu, sesungguhnya harus dibahasakan secara spiritual, tidak sekedar fisikal. Sampai di sini, saya akan sedikit menyeberang ke pemikiran spiritual mistikus saya, bahwa harus ada yang berani berbicara metabahasa, tidak tersekat-sekat antara bahasa sastra, ilmu, agama, apapun itu. Bukankah saya membicarakan tentang kebebasan? hehe... Dengan demikian, sesaat saya bisa anda sebut sebagai penulis anonim: bukan filsuf, bukan ilmuwan, bukan agamawan, apalagi sastrawan...

Insyaallah bersambung...