Ketika tahun 1998 Indonesia menyepakati Ilmu Keolahragaan sebagai
ilmu yang mandiri, setahun berikutnya sayapun dipanggil untuk memperkuat
ilmu baru tersebut. Tentu, dengan filsafat sebagai "core" saya. Di
antara keresahan eksistensial saya (waduhh :D) di tempat itu, saya tentu
mulai mencari tahu tanpa satupun teman yang menjadi guide. Eh, ralat,
ada teman sih, namanya "buku KDI-Keolahragaan" yang terbit tahun 2000.
Setelah baca-baca sekilas, saya baru memahami mengapa orang filsafat kok
dicari2 oleh Fakultas Ilmu Keolahragaan Unesa (yang pada saat itu masih
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan IKIP Negeri Surabaya).
Sampai
tahun 2001, eksistensi (dan apalagi self-confident serta self-efficacy)
saya masih belum sepenuhnya ter-charge dengan sempurna. Kerjaan saya
mengajar, pulang. Itu aja tiap harinya. Hampir2 ngenes karena tidak tahu
apa yang bisa kukontribusikan ke lembaga FIK khususnya, dan negeri ini
umumnya dalam kaitannya dengan kapasitas saya sebagai orang filsafat di
tengah2 belantara orang2 olahraga. Sekretaris Jurusan di mana saya
mengabdi waktu itupun saat kukonsultasikan ke beliau, hanya manggut2
tidak "ngeh" dengan keluh kesah model saya. Hehe.. Satu orang kolega di
kampus (sekarang sudah almarhum) yang kemudian "memanfaatkan" saya, dari
situ saya perlahan2 mulai percaya diri.
Tahun 2001 -
2003 saya kuliah S2 di UGM. Dari jauh, saya melihat FIK Unesa dengan
kacamata baru. Setidaknya saat itu saya mulai mengambil posisi "aku
filsafat, aku dibutuhkan" meskipun masih belum optimal keteguhan sikap
dan posisi saya itu. Dari keahlian komputer yang waktu itu di FIK masih
cukup langka, saya mulai dikenal orang2 FIK. Bahkan sampai dipercaya
membuat dan mengelola website. Hehe.. Percaya diri saya tambah gede.
Lalu,
sayapun menulis buku. Filsafat Olahraga judulnya. Belum bergema sih,
tetapi eksistensi saya sudah mantap di FIK. Siapa yang paling tahu
filsafat olahraga, setidaknya di Unesa, sayalah orangnya. kata mereka
begitu. Padahal saya masih merasa sebagai bayi yang tidak pernah
disusui, tetapi harus segera dewasa.
Tiba-tiba tahun
2006 buku saya ke-4 tembus penghargaan nasional. Tentang Filsafat Ilmu.
Banyak teman2 Unesa yang mulai bangkit semangat berkarya ilmiahnya
setelah itu. Sudahlah, singkat cerita setelah itu sayapun sejajar dengan
teman2 dosen lain. Setidaknya menurutku, ga peduli menurut yang lain.
Hehe... Seperti biasanya aku, tidak ada yang memperbedakan aku dengan
siapapun manusia dalam hal keharusan menunduk tawadhu, kecuali orang2
saleh. Hehe.. Intinya, aku sudah kembali menjadi aku yang penuh.
Kesibukan
mengajar saya menjadi-jadi. Mengajar hampir 50 SKS dalam 1 semester
sudah biasa bagi saya. Minim penghargaan, dan memang layak
digoblok2in..kok mau2nya lo saya ini. Kuncinya, saya senang2 saja
melakukannya. Semuapun terasa ringan. Xixixixi...
Setelah
mendapat gelar Doktor Ilmu Filsafat tahun 2014 dengan Filsafat Olahraga
sebagai kepakaran saya, di semester itu juga saya diminta mengajar S3
utk mata kuliah Filsafat Olahraga bersama Prof Toho CM, mantan rektor
Unesa yang menjadi arsitek berubahnya IKIP menjadi Unesa, dan sekaligus
arsitek deklarasi Ilmu Keolahragaan sbg ilmu yang mandiri. Saya
bersanding dengan beliau utk mengajar calon2 Doktor Ilmu Keolahragaan!
Wow... sesuatu yang 15 tahun seblumnya saya justru berada di posisi
sebaliknya: "terasing" karena saya filsafat kok ada di tengah2 akademisi
olahraga. Tuhan tidak sedang bermain2 dengan kemisteriusanNya.
Tahun
2015. Medio September. Terbitlah buku saya: "Filsafat Ilmu
Keolahragaan", yang sejujurnya berangkat dari kisah kegalauan saya 15
tahun lalu itu... Bismillah-ku, menggema terus menerus di aliran
kesadaranku.