09 Mei 2018

SURPLUS AKAL MINUS DOA

Ijinkan saya mengadu.

Secara seksual, saya jijik lelaki. Bertahun-tahun saya tidak berjuang, berpikir, beribadah yang ada lelaki di ujung pengorbanan saya. Itu sebagiannya untuk orang yang saya berkorban karena sangat mencintainya. Istri. Meskipun tetap tidak bisa menghayati, saya toh tetap berusaha tidak merugikan hak-hak kemanusiaan mereka yang gay dan sejenisnya. Surplus doa minus akal untuk LGBT. Setidaknya, Tuhan - jika mereka mengimani - bisa memahami mereka dengan Kuasa Tanpa BatasNya. Saya merasa pemosisian diri saya itu tidak berada di pihak dunia. Seolah dunia menghendaki saya harus surplus akal untuk mereka, yang jujur lagi, saya kewalahan menemukan dasar rasionalitas, apalagi emosionalitas, kenikmatan mereka. Secara subjektif, saya menganggap mereka menyimpang bahkan untuk dimaknai dalam rengkuhan rasionalitas sekalipun. Tetapi saya jangan diragukan untuk menyetarakan mereka dalam konteks peri kemanusiaan.

Saya mengadu bahwa dunia di bawah kendali beberapa oknum berkuasa, menghimpit pemahaman saya terus menerus dengan menyajikan informasi-informasi "bening" dan canggih yang mirip ulat, menggerogoti tenggorokan saya untuk akhirnya tidak kuasa lantang berkata "menyimpang" bagi lesbi, gay, dan semacamnya. Kolega-kolegaku memanggungkan perspektif-perspektif mewah dari nilai-nilai yang seolah surplus akal minus doa. Media sosial dan media massa berkelindan berjejaring dengan kejahatan-kejahatan epistemologis yang menggiring manusia-manusia Timur untuk menganggap bukan Timur lokus terbitnya matahari. Tapi Baratlah yang menerbitkan matahari terang benderang dengan kilau material yang mengenakkan manusia. Dan kini sejauh kupikirkan, Timur benar-benar ragu, apakah matahari sungguh terbit darinya...

Nietzsche dengan moral tuan, Bentham dengan utilitarian, bahkan Marx dengan struktur produksi-konsumsinya, hari ini bolehlah mereka dianggap guiding star. Yang kecil semacam empedokles atau Iris Marion Young pun, memandu kerlip suar cara kita hidup. Timur semakin membosankan dengan kisah Sidharta menggugat kasta, Musa menebas berhala. Doa semakin minus, akal semakin surplus...

Jika orang bernuansa bule Barat satu rumah dengan orang bernuansa jawa, film kita itu akan memastikan siapa yang menjadi tuan dan siapa yang menjadi kacungnya. Iklan perumahan di pelosok desa Sidoarjo, terbaca "...one gate system...". Timur malu menjadi Timur, dan mau menyiksa diri bangga dengan meBaratkan dirinya.

Saya mengadu, bukan mengeluh.

Sejak beberapa tahun lalu. Hingga sekarang.

Surplus akal,.surplus doa semoga.