03 September 2021

MENS SANA IN CORPORE SANO (?)

Mens Sana In Corpore Sano (a sound mind in a healthy body), di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Kalimat itu di populerkan oleh Jhon Hulley pimpinan liverpool Inggris. Dia menggunakan semboyan klasik itu sebagai motto untuk Klub Atletik Liverpool pada 1861. Kalimat ujaran dan ajaran hidup sehat klasik tersebut menjadi salah satu motto pendidikan bagi para pelajar dan masyarakat Inggris, dan saat ini menyebar ke seluruh penjuru belahan dunia, tidak terkecuali negeri kita tercinta Indonesia. Ujaran kesehatan klasik tersebut pertama kali ditemukan melalui sebuah karya sastra seorang pujangga romawi kuno Decimus Lunius Juvenalis dalam karya sastranya yang kondang bertajuk Satire X, di abad kedua masehi. Secara utuh, adagium latin ini berbunyi Orandum Est Ut Sit Mensana Incorpore Sano Artinya, marilah kita berdoa semoga di dalam tubuh yang sehat terdapat pula jiwa yang sehat. Sayang, kalimat itu terpotong sehingga maknanya menjadi tak lengkap. Marilah kita berdoa (Orandum Est Ut Sit), kata inilah yang hilang.

"Bos Kejahatan Al Capone tahun 1930" (https://en.wikipedia.org/wiki/Al_Capone). Dianggap Robin Hood modern karena sumbangannya ke berbagai badan amal, namun juga membantai tujuh saingan gang di siang hari bolong.  

Dalam wikipedia disebutkan berbagai pengguanaan di kalangan militer, ilmuwan, bahkan politik. John Locke seorang filsuf abad ke 17 menggunakan kalimat itu untuk menyokong berbagai dokumen filofisnya tentang empirisme. Di pelajaran sekolah Indonesia, kalimat Latin ini sering dipakai untuk mensugesti pentingnya pendidikan jasmani dalam mendukung pencerdasan semua hal.Industri olahraga mengeksploitir semboyan men sana in corpore sano (di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat) sebagai slogan utama promosi penjualan produk perlengkapan olahraga. Kesehatan ragawi diberhalakan sehingga jauh lebih penting ketimbang kesehatan batin.

Stephen Hawking seorang fisikawan tersohor abad 20 dan 21 ini, seolah membuktikan ketidaksinkronan pendapat itu. Duduk di kursi roda karena ketidakseimbangan gerak motoriknya dengan alat bantu percakapan, sosoknya diyakini sebagai jenius di bidang fisika teoritis sekaligus menumbangkan keyakinan mens sana in corpore sano ini. Hawking hanya satu contoh yang mewakili pendapat sebaliknya: kecerdasan atau jiwa sehat bisa berada di tubuh sakit, Sakit dalam hal ini diartikan luas termasuk kecacatan fisik, Sebaliknya, Hitler di awal-awal abad ke-20 mewakili pendapat kontraproduktif lain bahwa jiwa sakit berada dalam badan sehat. Pembunuhan Yahudi dan kamp siksaannya menjadi contoh pendukung. Terlalu mudah memberi contoh pendapat ketidaksinkronan mens sana in corpore sano di kehidupan yang dialami sehari-hari. Salahkah?

Sebagai latar belakang filosofis di masanya, di Romawi Kuno, tentu penghargaan tubuh yang diistimewakan dalam pembentukan jiwa yang prima, memang beralasan. Beberapa lukisan ilustratif penghargaan tubuh ideal sebagai cita-cita umumnya masyarakat waktu itu (bahkan hingga jauh ke masa sekarang) memiliki amunisi "teori" pembenaran yang memadai. Beberapa teori atau filsafat berbeda juga cukup banyak, misalnya ungkapan "tubuh adalah penjara bagi jiwa" atau "tubuh adalah makam bagi jiwa".

Paham hedonisme yang sering dituduhkan di zaman ini bagi para pengejar kenikmatan badani, sebenarnya ada yang mengartikan hedonisme sebagai mengejar kenikmatan spiritual-jiwa. Pro kontra badan atau tubuh dan jiwa atau spiritual ini menjadi salah satu permasalahan klasik filsafat sepanjang jaman.
Al Capone, Hitler, dan penjahat sehat dengan jiwa yang sakit di satu sisi, kontradiksi dengan mialnya jenius Hawking berjiwa sehat tapi bertubuh sakit.Mari berhati-hati memberhalakan sudut pandang...

Tidak ada komentar: